Minggu, 30 Agustus 2009

Pusdiklat SDM menyikapi pengembangan UBS


Pengembangan Unit Bisnis Stratejik (UBS) saat ini senag nge-trend di perusahaan kita, dalam kerangka UBS tersebut Pusdiklat SDM Perum Perhutani termasuk kedalam "management office". Yang perlu ada ketegasan terlebih dahulu tampaknya pada peran dari Pusdiklat SDM itu sendiri. Pusdiklat SDM akan diperankan sebagai "profit center" ataukah "cost centre". Kejelasan peran tersebut nantinya akan terkait dengan komitmen manajemen. Dimana akan memandang Pusdiklat sebagai "locomotor pembangunan SDM" perusahaan (cost centre) dengan memberdayakan "iddle capacity" pelatihan untuk mengoptimalkan asset dan meningkatkan citra perusahaan dengan menyelenggarakan pelatihan, baik outbound, gathering dan paket pelatihan singkat kepada masyarakat umum ataukah sebagai profit centre yang akan menangkap peluang pelatihan dari departemen kehutanan dalam rangka membangun KPHP, peluang assessor dari tenaga profesional kehutanan dan pelatihan singkat lainnya yang dapat dipasarkan, baik dibidang kehutanan ataupun manajerial. Kalau sebagai profit centre, maka peran sebagai lokomotif perusahaan dapat tergeser karena UBS tersebut akan mengejar profit sebagai kewajibannya.

Bagi warga Pusdiklat maa yang akan dipilih kami siap untuk melakukannya. Hanya yang pelu doiperhatikan adalah SDM kita utamanya dalam memberikan pelayanan. Karena kunci keberhasilan bisnis saat ini adalah pada harga dan pelayanan yang diberikan.

Banyak sebenarnya potensi yang dapat dikembangkan oleh Pusdiklat SDM, mulai dari optimalisasi asset, seperti kendaraan, gedung (rapat, pelatihan, OR dan pertemuan), sampai kepada penjualan paket pelatihan, seperti pelatihan singkat dalam presentasi, pelayanan prima, ataupun PHBM kepada masyarakat atau LMDH, outbond, gathering, wisata pendidikan (ada arboretum, kerjasama swasta persemaian dan tanaman jati jun) dan sebagainya.

Belum lagi peluang baru yang dapat ditangkap tentang pembangunan KPHP departemen kehutanan, assessor tenaga profesional kehutanan, bahkan sampai kepada yang paling ekstrem adalah menjual paket pelatihan untuk TKW profesional. Karena kita memiliki sarana untuk itu.

Hal inilah yang sengaja penulis angkat. Karena tentunya terkait dengan portfolio bisnis perusahaan juga. Mana yang berada dalam posisi star, sapi perah, quetion mark ataupun dog.

Menurut hemat penulis setelah ini dirumuskan, barulah menyerahkan kepada unit profit centre untuk mengelolanya. Akan tetapi pengelolaan secara profesional bahkan menjadikan beberapa unit bisnis kedalam anak perusahaan. Ingat dengan pengalaman pahit yang permah kita alami.

Jawa Barat juga sudah mengambil langkah manis. Dengan tidak melakukan ekstensifikasi tanaman kopi. Tetapi mereka memberdayakan potensi kopi glondong basah dengan mendirikan unit bisnis pengolahan kopi bersinergi dengan Primkokar yang ada. Contoh adalah UBS kopi di KPH. Bandung Selatan. Demikian juga dengan pabrik pengolahan minyak nilam hasil masyarakat. Istilahnmya Perhutani sebagai bapak angkat dalam produksi nilam, yang bekerjasama dengan Primkokar. Ini adalah beberapa contoh menarik dari kreativitas teman-teman di lapangan menyikapi perubahan paradigma bisnis saat ini. Akan tetapi agar derap langkah yang dilakukan dapat seirama dengan BOD dan berjalan dengan apik, maka perlu adanya kejelasan dalam komitmen manajemen.

Demikianlah beberapa sumbangsaran dalam kaitannya dengan UBS yang saat ini sedang getol dikembangkan. Lebih baik terlambat daripada "collapse".

Bravo juga kepada teman-teman lapangan.

Sabtu, 29 Agustus 2009

UNIT BISNIS STRATEJIK (UBS)


Saat ini kita sedang gencar membicarakan tentang unit bisnis stratejik (UBS). Sebenarnya apakah yang dimaksudkan dengan unit bisnis stratejik tersebut atau yag biasa disebut dengan bisnis kunci dalam sebuah perusahaan. Menurut Menurut Kotler dan Amstrong dalam principles of marketing (1991), yang dinamakan dengan UBS adalah suatu unit dalam perusahaan yang mempunyai misi dan sasaran tersendiri serta yang dapat direncanakan secara mandiri terhadap bisnis-bisnis perusahaan yang ada. UBS dapat saja merupakan sebuah divisi dari perusahaan, suatu lini produk dalam divisi tertentu, akan tetapi terkadang juga bisa cerminan dari sebuah produk tunggal.

Lha sekarang tinggal kebijakan manajemen, UBS yang seperti apa yang akan dikembangkan di Perum Perhutani. Karena seperti telah disampaikan bahwa UBS sebenarnya ya merupakan bisnis kunci dalam sebuah perusahaan.

Tentunya untuk melangkah sampai kepada bisnis kunci, maka analisa potfolio bisnis perusahaan dengan menggunakan pendekatan The Boston Consulting Group (BCG) ataupun dengan General Electric (GE).

Yang pertama harus kita pilih, apakah UBS tersebut akan dikembangkan menjadi sebuah bisnis kunci perusahaan ataukah divisi. Kalau penulis mencoba untuk menggambarkan, bahwa dengan struktur organisasi baru yang terdapat, baik di kantor pusat ataupun didaerah, maka tampaknya UBS tersebut lebih sesusai berada dibawah deputy direktur pengembangan stratejik. Mengapa demikian, karena dari bagian perusahaan yang secara khusus menangani hal-hal yang bersifat strategis. Kedaerah tentunya juga harus ada penerusnya. Sehingga tidak berhenti ditengah jalan. Menurut hemat penulis, lebih mengarah kepada KBM. Sedangkan KBM mana yang lebih berperan maka tentu harus kita analisa melalui portfolio bisnis terlebih dahulu. Diantara bisnis yang sementara ini kita kembangkan, kita kelompokkan kedalam The BCG Growth Share Matrix, yang mana sumbu vertikalnya lebih kepada daya tarik pasar atautingkat pertumbuhan pasar dan horizontal sebagai kekuatan posisi UBS dalam pasar yang lebih mengarah kepada pangsa pasar. Menurut penulis, maka perlu dikelompokkan terlebih dahulu manakah diantara bisnis perusahaan yang benar benar merupakan bisnis kunci.

Setelah itu, barulah kita kelompokkan dengan menggunakan The BCG growth share matrix. Mana bisnis perusahaan yang masuk kedalam kelompok star, artinya yang punya potensi berkembang pada masa mendatang tentunya pada saat ini memerlukan modal kerja dan investasi yang cukup tinggi. Manakah bisnis yang merupakan tanda tanya bagi perusahaan saat ini. Tanda tanya dalam 2 hal, yakni kedepan apabila dikembangkan memiliki prospek baik ataukah bisnis tersebut kedepan justru perlu dipangkas karena tidak prospektif. Berdasarkan pengamatan penulis, maka yang termasuk kedalam tanda tanya positif (prospektif) adalah perbenihan, pemasaran logs FGS (Jabon, Pulai, Suren, Sengon, Balsa, dll) dan mahoni, minyak atsiri dan minyak kayu putih, pemasaran rotan setengah jadi, pemasaran madu. Sedangkan yang kedepan perlu dipertimbangkan untuk dipangkas produk S4S, flooring, pemasaran seedlak, produk AMDK Perhutani. Kemudian berdasarkan kondisi yang ada, maka sesuai dengan perkembangan jaman juga, bisnis yang termasuk kedalam kategori star adalah indutri pariwisata (ecotourism) karena pada waktunya manusia akan "back to nature", industri furniture dan industri derivat dari gondorukem dan terpentin, usaha lain. Sedangkan bisnis yang merupakan "cash cow" perusahaan adalah pemasaran kayu jati dan rimba (jangka menengah dan jangka pendek). Pertanyaannnya mengapa penulis megatakan kedepan kita lebih mengarah kepada FGS terutama pengembangan hutan rakyat yang memiliki peran ganda, yakni sebagai life support system dan ekonomi yang ramah sosial. Karena jika Perum Perhutaniterus mengembangkan jati genjah, maka resiko yang terjadi akan selalu terjadi konflik dengan masyarakat, utamanya konflik tenurial. Padahal salah satu prinsip PHL harus menjauhi dan bahkan menghindari terjadinya konflik tenurial, khususnya tanah sebagai lahan garapan. Karena masyarakat desa wengkon kita hanya sebagai petani gurem dan akan sering terjadi kegagalan tanaman karena faktor kultural.

Itulah sekedar gambaran singkat dalam rangka pengembangan UBS. Hanya yang perlu ditekankan oleh penulis, bahwa UBS cenderung lebih terkait dengan profit centre bukan cost centre. Sesuai dengan hal tersebut, agar tidak terjadi kerancauan lebih baik ditangani KBM. Sedangkan KPH dan SPH tetap fokus kepada cost centre. Mengapa demikian karena tugas KPH adalah mampu membangun hutan lestari dan SPH mampu melakukan penataan hutan secara baik. Sedangkan KBM harus tetap terfokus untuk menjadi profit centre jangka pendek dan panjang.

Selamat menyikapi perubahan paradigma dalam bisnis perusahaan.

Perlunya segera kejelasan serta juklak dan juknis UBS


Dalam rangka mengimplementasikan pengembangan UBS, maka perlu segera disusun juklak dan juknis-nya sehingga teman teman di lapangan lebih jelas dalam menyikapinya.
Menurut penulis serasa masih ada yang "jumbuh" dengan penerapan UBS dan pembagian peran antara KPH dan KBM. Dulu dinyatakan bahwa unit usaha yang mandiriyang dibentuk Perum Perhutani adalah KBM. Saat ini malah KPH, yang tadinya fokus pada pembangunan hutan lestari, sekarang dibebani target dengan keuntungan alias juga harus berperan ganda sebagai cost centre dan sekaligus sebagai profit centre. Peran ganda ini dapat dianalogikan dengan tape dan radio pada mobil. Maka alat yang berperan ganda akan lebih cepat rusak dibandingkan yang fokus. Kekhawatiran dari penulis akhirnya kita tidak fokus lagi dalam pembangunan hutan untuk menyediakan bahan baku industri sebagai "core bussiness" kita. Nantinya malah pengembangan usaha yang dikuatkan. Karena bahayanya lagi tolok ukur kinerja KPH. sama dengan KBM, yakni keuntungan. Seharusnya KPH. adalah keberhasilan dalam reboisasi dan diakuisebagai PHL itulah tolok ukurnya. Dengan tolok ukur kinerja pada keuangan, maka fokus kita akan rancau. Contoh sekilas, kita telah "men-declare" akan bebas tanah kosong pada tahun 2010. Betulkan demikian ?. Memang reboisasi telah dilakukan pada lahan kosong akan tetapi bagaimana dengan evaluasi keberhasilan tanaman yang amat terkait dengan proforma sebuah KPH dan sekaligus sertifikasi PHL.
Sehingga BOD harus tegas, kemana arah perjalanan KPH dan kemana KBM. Juga jangan seperti saat ini, KBM yang dijadikan profit centre gerakannya terbatas. Kalau menurut penulis, maka KBM jangan berada di bawah Unit melainkan langsung dibawah deputy pengembangan strategis. Terus pertanyaan yang muncul bagaimana dengan pengembangan hutan rakyat. Hutan rakyat tentunya tetap dibawah deputy hutan rakyat, meskipun dengan KPH tetaplah ada koordinasi. Demikian juga dengan KBM. Unit tetap ada jalur koordinasi. Sehingga pengembangan usaha yang kita lakukan dapat fokus. Kemudian dengan kebijakan pengembangan hutan rakyat yang tahun ini cukup luas, sekitar 6 juta ha yang terbagi kedlam 3 Unit berikut sumber pendanaannya. Apakah kita sudah siap jika meminjam dari Bank komersial?. Ingat dengan SDM kita juga. Kalau mador tanam kita sudah menjadi mandor tanam yang profesional, saya sangat setuju dengan kebijakan tersebut, karena sekaligus sebagai stimulus untuk maju dan berkembang.
Sehingga dengan telah keluarnya "tupoksi" untuk masing-masing level manajemen di Perum Perhutani, kebijakan dalam pengembangan usaha serta penerapan unis bisnis stratejik, maka perlu segera dikeluarkan ketentuan yang mengaturnya secara lebih jelas dalam bentuk juklak dan juknis didaerah. Sehingga akan lebih jelas arah pengembangan perusahaan disamping para pelakunya akan semakin lincah dalam berinovasi.
Tumbuhkan kreativitas dan daya inovasimu, menyambut adanya kebijakan dan sekaligus perubahan paradigma dari sumber pendapatan perusahaan.
Selamat dan sukses untuk semuanya, bravo Perum Perhutani

Selasa, 25 Agustus 2009

Mengenal, Budidaya dan Kelayakan Usaha Jamur Tiram


Jamur tiram, merupakan kelompok jamur kayu. Karena di alam terbuka jamur memiliki kandungan fosfor yang masih relatif tinggi dan membahayakan bagi yang mengkonsumsi, maka untuk mengendalikan kandungan fosfor tersebut, maka dilakukannlah budidaya jamur tiram, dengan menggunakan media kayu tiruan, yang dikenal dengan nama "baglogs".

Menurut Sinar Tani (1993) jamur tiram pertama kali diketemukan di Negeri Belanda (1900) yang kemudian menyebar ke Eropa, Amerika, dan selanjutnya ke Asia terutama negara Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang dan untuk selanjutnya pada tahun 1970 masuk ke Indonesia melalui kerjasama kerjasama teknilogi di bidang pertanian atau yang dikenal dengan Agricultural Technical Mission (ATM) dengan Taiwan (Republic of China), yang diawali kerjasama tersebut di Bogor.

Kemudian kerjasama tersebut terus berkembang, dan pada tahun 1990 dikembangkan juga di Malang dan pada tahun 1992 terus dikembangkan kerjasama teknis budidaya ke Sleman-Kaliurang (Yogyakarta).

Ciri fisik jamur tiram mudah dikenali karena bentuknya yang mirip dengan cangkang tiram laut, tumbuhnya berumpun dengan diameter 3 - 10 cm.

Sedangkan macamnya Jamur Tiram, antara lain :


Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Jamur Tiram Merah-Pink (Pleurotus flabellatus)

Jamur Tiram putih susu (Pleurotus florida)

Jamur Tiram putih-krem (Pleurotus sayu)

Jamur Tiram coklat (Pleurotus cystidiosus)


Pada tahun 1992 FAO meneliti bahwa kandungan dari jamur tiram, antara lain :


Lemak 1,41%

Protein 13,80 %

Serat 3,50 %

Karbohidrat 61,68 %

Abu 3,60 %

Zat besi 4,10 %

Fosfor 318 mg

Vitamin B1 0,12 %

Vitamin B2 0,64 %

Niacin 7,80 %

Air 16,10 %


Jamur tiram dapat dikonsumsi dalam bentuk segar ataupun olahan dengan dicampur dengan sayuran lain, misalnya dibuat oseng-oseng kacang dan tenpe, orak-arik wortel dan telur putih,

bahkan dibuat camilan disore haripun sangat enak, dengan cara digoreng dengan dicampur dengan tepung kentucki (kripik jamur), akan tetapi diperlukan waktu lama untuk meniriskan minyaknya.


Sedangkan khasiatnya, menurut Prof. Kojiro Shichijo Dr. Kisaku Mori (1992) :


Memulihkan stamina tubuh

Mencegah terjadinya darah tinggi

Mengatasi anemia dan defisiensi vitamin B1&2

Menghambat pertumbuhan kanker

Mengatasi anak sulit makan (kandungan zat tripsin)


Setelah mengenal sekilas jamur tiram, maka akan diperkenalkan cara budidaya dengan menggunakan kayu tiruan (baglog). Oleh karena itu, sebelumnya akan disampaikan cara pembuatan baglog.


BAHAN PEMBUATAN BAGLOG UNTUK 1 PAKET (3.000 BAGLOGS)


Grajen 3.000 kg

Gipsum 15 kg

Calsium 30 kg

Kapur Dolomid 30 kg

Bibit (F-3) 180 botol

Plastik 3.000 lembar

Air secukupnya


Sedangkan sarana kerja sederhana yang diperlukan

untuk membuat baglog tersebut, terdiri dari :


Terpal plastik sebagai alas kerja

Timbangan Besar

Timbangan Mikro

Pengayak ukuran (1 x 1) meter

Sekrop untuk mengambil bahan yang akan diayak

Ember Plastik untuk mengambil atau tempat air

Gayung untuk mencampur air di adonan

Alat pengepres mekanik atau botol kosong untuk penumbuk

Kotak Inkas untuk menjamin kondisi steril saat inokulasi micelium kedalam baglog

Lilin dan korek api untuk proses sterilisasi

Autoclaf atau drum

Tungku

Troli pengangkut baglogs atau keranjang

Staples

Kawat Peyogok

Pelubang dari Kayu (memasukkan micelium kedalam baglog)

Spiritus


Cara kerja :


Langkah pertama adalah mencampur bahan kemudian memberinya air secukupnya, jangan terlalu kurang ataupun kebanyakan. Ukurannya, apabila campuran digenggam, maka tidak lengket di tangan. Jika terlalu banyak air, maka dikhawatirkan nantinya justru micelium tidak dapat tumbuh. pH berdasarkan pengalaman, berkisar antara 5,4 - 6.

Kemudian campuran bahan dimasukkan kedalam kantung plastik, setelah semua kantung plastik terisi dengan tidak terlalu penuh (2/3 bagian plastik). Selanjutnya dipres atau dipadatkan dengan botol kosong yang ada.

Kemudian bagian atasnya di staples. Setelah selesai kemudian dibawa dengan troli atau diangkut dengan keranjang untuk proses sterilisasi dengan cara dimasak kedalam drum atau dimasukkan autoclaf.

Pemasakan dalam drum memerukan waktu yang relatif lama, yakni 6 - 8 jam dengan suhu sekitar 100 derajad celcius. Apabila menggunakan autoclaf, maka disetting dengan suhu 121 derajad dan tejanan 1,5 bar dan disterilkan hanya selama 2 jam saja.

Setelah selesai proses sterilisasi, maka baglog tersebut harus didinginkan terlebih dahulu selama 24 jam.

Kemudian barulah proses inokulasi micelium dilakukan. Persyaratannya harus dalam kondisi tidak ada angin, menekan terjadinya jamur lain mengikut saat inokulasi dilakukan.

Selanjutnya adalah proses inkubasi atau pemeraman, yang dilakukan biasanya selama 20 hari.

Pada proses pemeraman akan terlihat calon hasil inokulasi yang gagal, dengan ciri bahwa bagian luar serbuk gergaji akan berwarna oranye, coklat atau bahkan hitam. Sebaiknya yang mengalami hal tersebut, harus langsung diupisahkan da dibuang.

Jika sudah tampak warna putih atau micelium sebagai bukti bahwa micelium sudah menyebar, tunggu sampai merata penyebarannya. Kemudian dibuatkan lubang pada baglog dengan cara disilet saja. Bisa dibagian atas atau juga di bagian samping dari baglog. Apabila lubang sedikit maka pertumbuhan jamur umumnya akan lebih besar, disamping irit dalam menguras nutrisi dalam baglog. Akan tetapi bila banyak jalan atau lubang sebagai tempat keluarnya jamur, maka jamur ukurannya akan lebih kecil, disamping cadangan nutrisi dalam baglog akan cepat habis. Sehingga belum sampai waktu sekitar 4 bulan maka sudah berhenti tumbuh. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan berat baglog yang amat ringan.

Tadi setelah diperam selama 20 hari, selanjutnya disimpan kedalam rak jamur yang telah disediakan. Baglogs diletakkan tidur dan disusun secara rapi. Biasanya rak tersebut diletakkan dalam srumbung plastik atau rumah.

Selama masa penumbuhan jamur, jangan sekali-kali baglog disiram. Apabila panas maka hanyalah lingkunga dimana baglog berada yang disiram. Ruangan harus benar benar steril. Yang baik bahkan pada saat masuk harus melepas alas kami, dan kaki dicelum terlebih dahulu kedalam larutan desinfectan (bisa formalin) yang diletakkan dalam tempat seperti bak kecambah.

Dalam jangka waktu 30 - 60 hari setelah pemeraman, maka jamur akan mulai tumbuh, muncul dari lubang yang telah dibuat pada baglog.

satu musim pemeliharaan jamur tiram umumnya selama 6 bulan. Lebih dari 6 bulan umum sudah tidak efisien lagi.

Setiap baglogs selama 1 musim akan menghasilkan secara umum adalah 0,7 kg jamur. Akan tetapi karena resiko dalam pemungutan dan pengemasan, pengalaman penulis hanya tersisa sebanyak 0,5 kg dari 0,7 kg yang dihasilkan setiap baglog.

Setelah dipanen, maka jamur dibersihkan. Setelah dibersihkan biasanya ada pengepul yang datang, dengan harga jual tingkat petani antara Rp. 7000 sampai dengan Rp 7500,-.

Apabila dikemas sendiri dan dijual ke Supermarket (hati-hati bisnis jamur termasuk bisnis kartel) dapat mencapai harga sampai Rp. 12000,-/ kg akan tetapi kemasan kita umumnya hanya 200 gram saja. Dijual kepada konsumen dengan harga Rp 18.000/ kg.

Jamur merupakan agribisnis yang sangat "fragile dan perishable" karena mudah rusak dan cepat sekali layu. Umumnya hanya berumur 1 hari kecuali dimasukkan lemari pendingin yang dapat menambah umur kesegaran sampai 5 hari atau bahkan 1 minggu.


KELAYAKAN USAHA JAMUR TIRAM


Pendapatan = 3000 x 0,5 kg = 1500 kg

Jika harga tingkat petani Rp. 7000,-, maka akan diperoleh hasil = Rp. 10.500.000,-

Biaya tetap (penyusutan peralatan per-musim) = Rp 616.600,-

Biaya operasional = Rp. 3.277.500,- (per-musim)

Laba operasional = Rp. 7.222.500,-

Total Biaya = Rp. 3.894.100,-

Investasi sarana (> 1 musim) = Rp. 1.850.000,- (cara sederhana)


B/C ratio = 3,20

ROI = 269,64%

BEP = Rp. 2.185,-/ kg

Rentabilitas = 127,37% (jauh lebih tinggi dari tingkat suku bunga pinjaman)


Usaha jamur sangat likwid terutama jika dilakukan di pedesaan, karena dapat menekan biaya operasionalnya, misalnya penggunaan air, bahan bakar tungku, tenaga kerja, sewa tempat untuk penyimpanan setelah pemeraman. Sehingga dapat menyebabkan B/C ratio tinggi maupun pada rentabilitas yang tinggi. Sedangkan sara yang digunakan juga sangat sederhana, sehingga akan menekan modal investasi dan akan berpengaruih pada nilai ROI-nya







Minggu, 23 Agustus 2009

Unit Bisnis Stratejik (UBS)


Unit Bisnis Stratejik atau Strategic Bussiness Unit (SBU) pada saat ini telah dikembangkabn oleh perusahaan. Menurut SK. Nomor 399/ Kpts/ Dir/ 2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Tugas Pokok dan Kewenangan Pada masing-masing level manajemen Perum Perhutani tela ditetapkan bahwa unit bisnis stratejik terbagi kedalam 3 level, yakni Direksi (Management Office), Unit (Regional Strategic Management) dan KPH/ KBM (Operational Management). Permasalahan yang ada disini tidak dipisahkan antara profit centre dan cost centre. Karena dengan ditetapkan bahwa KPH sebagai pengelola hutan yang lestari, maka akan timbul konsekuensi tentunya akan muncul sebagai "cost centre", dimana KPH akan mencurahkan segala sumberdaya finansial yang ada untuk berlomba-lomba membangun potensi SDH yang baik ataupun dalam konteks yang lebih luas, yakni SDA. Dalam perjalanannya KPH saat ini juga harus bertindak sebagai "profit centre" dimana juga mengembangkan wisata yang "tidak laku" masuk KBM ataupun anak perusahaan PALAWI. Padaal seharusnya kalau penyerahan hasil hutan kayu ke KBM pemasaran dan atau industri dilakukan "transfer pricing" nilai kayu. Mengapa pada saat penyerahan wisata dari KPH kepada KBM atau PALAWI tidak dilakukan hal yang sama.

Dengan kejadian ini, tentunya upaya yang telah dilakukan KPH dalam "mendadani" wisatanya tidak akan terlihat yang dapat nama hanyalah KBM atau PALAWI saja.

Pengembangan usaha, kalau menurut hemat penulis sebaiknya dilakukan oleh KBM dengan unit bisnis tertentu, dengan unit bisnis yang tidak berorientasi produk semata, akan tetapi berorientasi pasar. Misalnya unit bisnis penyedia bahan minuman, yang didalamnya ada produk poka, kopi, air mineral, dll. Hal ini teringat penulis akan apa yang disampaikan Levitt dalam "myopia management". Dengan unit bisnis seperti itu, maka akan dapat berlangsung lama tidak tergantung preferensi atau selera konsumen, trend semata.

Dengan keluarnya SK. Nomor 399/ Kpts/ Dir/ 2009 tersebut, maka tentu akan rancu lagi.

Contoh misalnya PUSDIKLAT SDM yang memiliki tugas pokok membangun SDM perusahaan, tentunya akan memanfaatkan ruang, waktu dan anggaran untuk membangun SDM Profesional. Hanya pada saat terjadi "iddle" capacity (jika ada) akan membuka paket pelatihan atau menyewakan tempat untuk umum, termasuk penyewaan kendaraan, tentunya. Kerancuan semacam inilah yang membuat kita selamanya "kurang focus" dalam menangani sesuatu.

Untuk bisa berhasil dalam usaha tentunya diperlukan fokus, meskipun tidak menutup kemungjinan adanya diferensiasi dan diversifikasi produk dalam usaha, akan tetapi konteksnya tetap pada ril "bisnis". Kalau tidak salah, hal ini pernah terjadi di DIVLAT PT. TELKOM, yangterus mencari pendapatan dari pelatihan yang dijual bahkan ke manca negara, akan tetapi pembangunan SDM TELKOM sendiri pernah tersendat. Akan tetapi kemudian manajemen menyadari dan kembali pelatihan menjadi "cost centre". Hal ini tentuna akan juga membawa dampak bagi PUSDIKLAT SDM ataupun KPH.

Penilaian KPH. bukan pada berapa keuntungan yang diperoleh akan tetapi justru kepada bagaimana nilai pembangunan hutan dan udara. Hal inilah yang harus kita rumuskan sedangkan penilaian KBM adalah pada kinerja bisnisnya.

Demikianlah sekilas cetusan sebelum unit bisnis stratejik semakin berkembang menjamur di Perum Perhutani. Menurut hemat penulis, nanti ada UBS agribisnis ataupun apa yang berada dibawah naungan KBM WBU yang akan menangani kayu putih, seedlak, air, kopi, nilam dan sebagainya yang ternasuk kedalam agribisnis. Dimana nanti ada kasi minyak atsiri, kasi bahan baku minuman dan kasi perikanan ataupun lainnya.

Terimakasih, semoga dapat menjadikan renungan bersama.

Perlunya Kejelasan Aturan Dalam Pengembangan Usaha


Pengembangan usaha saat ini lagi giat-giatnya dilakukan perusahaan. Dalam rangka memenuhi kesenjangan yang terjadi. Hanya agar pelaksanaannya tidak simpang siur, maka perlu diterbitkan juklak dan juknis yang konkrit dalam konteks optimalisasi asset dan pengembangan potensi sumberdaya alam perusahaan.

1. Sebagai suatu misal dibidang optimalisasi asset.

Suatu tanah perusahaan yang akan dikembangkan menjadi sesuatu bangunan tertentu.

Maka secara yuridis formal, karena akan diusahakan untuk menghasilkan pendapatan, maka harus mengacu kerujuk kepada UU 19/ 2003 dan juga SE Menteri Keuangan Tahun 1989 (no lupa). Kemudian berapa batasan nilai yang harus dilaporkan Direksi, Dewan Pengawas dan akhirnya Meneg BUMNsampai kepada Meneg BUMN.

Sesuai dengan ketentuan tapak dan tata kota maka harus dilakukan penilaian "Highest and best use (HBU)" yag juga harus merefers juga kepada Pweraturan Menteri PU No 5/ PRT/ 2008 tentang Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan (kaitannya juga dengan HBU).

Barulah lokasi tersebut dapat dikerjasamakan dengan salah satu bentuk kerjasama, seperti BOT, BTO atau yang lainnya. Disamping perlu adanya kejelasan pengaturan fee, dalam kerjasama pembangunan jangka panjang seperti BOT, BTO (perlu adanya juknis).

Juga dalam batasan nilai berapa yang harus ijin dari direksi atau bahkan dewan pengawas serta Meneg BUMN.

Kejelasan dalam hal itu, tentu akan membantu teman-teman Administratur dalam melaksanakan tugasnya untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dengan mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh perusahaan. Atau yang dilakukan oleh unit usaha yang berorientasi profit centre setelah sekarang ada UBS.

2. Dibidang pengembangan potensi SDA

Kejelasan perijinan, terutama jika untuk kegiatan diluar kehutanan. Hal ini menggelitik penulis karena untuk mengamankan pengembangan "mina-wana, agro-forestry".

Semisal pengembangan tanaman kopi di kawasan lindung ataupun dalam kawasan produksi.

Di Perhutani belum pernah mencabut SK. 434/ Kpts/ Dir/ 1990 tanggal 14 April 1990 perihal : pedoman pengelolaan kopi hutan. Dimana dalam kebijaksanaan, khususnya point 1 yakni "tanaman kopi yang sudah ada dalam kawasan hutan perlu dibudidayakan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan, dengan dikelola secara intensif dan profesional" dan point 2 disebutkan bahwa "tidak diperkenankan adanya penambahan/ perluasan areal tanaman kopi dalam kawasan hutan". Sedangkan apa yang terjadi saat ini dalam rangka pengguliran PHBM, justru ekstensifikasi yang banyak terjadi dengan melakukan pengembangan kopi varietas "aceh tengah". Sehingga menurut hemat penulis dalam rangka mensukses unit bisnis strategik maka perlu menyempurnakan SK. 434 tahun 1990 tersebut dengan melakukan intesifikasi (meremajakan tanaman kopi yang sudah lansia) disamping pemeliharaan seperti di perkebunan dan pelaksanaan copies system serta ekstensifikasi pada kawasan hutan yang memungkinkan. Karena bagaimanapun untuk melakukan penanaman kopi yang baik perlu dilakukan adanya pengolahan tanah, utamanya dalam hal pengolahan tanah dalam lubang tanam, yang untuk kopi cukup besar, yakni 60x60x60 cm atau bahkan 75x75x75 cm, serta membutuhkan tempat pertumbuhan yang relatif datar. Saat ini banyak juga yang dikembangkan di hutan lindung dengan alasan klise untuk melegalkan okupasi ataupun lainnya. Sehingga perlu segera dilakukan tindak lanjut ataupun menyempurnakan dari SK. 400 jo 433/ Kpts/ Dir/ 2007.

Mengapa penulis tertarik mengangkat hal ini, karena kebetulan penulis sebagai pengampu materi pengembangan usaha lain di Pusdiklat SDM Perum Perhutani.

Guna menyiapkan kader lapangan yang tangguh maka segala ketentuan yang ada haruslah jelas, sehingga mereka tidak akan ragu dalam melangkah.


Hal lain yang menarik adalah mengenai pembuatan menara perlindungan hutan. Haruslah kita waspadai, karena sudah banyak berkembang "itu hanyalah upaya kamuflase dari Perum Perhutani", disamping adanya kejelasan perijinan dan SKK penandatanganan PKS yang terjadi.

Semoga hal ini dapat mengusik ataupun menyentil yang berada di bidang kepatutan hukum perusahaan. Karena Permen P.50/ Menhut-II/ 2006 sendiri sudah kurang berfungsi bebas semenjak adanya Permen P.43/ Menhut-II/ 2008. Padal acuan dari SK 400 dalam pengembangan usaha adalah P.50.

Marilah hal ini dapat segera dibenahi bersama, demi terciptanya tambahan penghasilan perusahaan.