Kamis, 22 Januari 2009

Pentingnya TNA



TNA merupakan kependekan dari Training Need Analysis (Analisa Kebutuhan Pelatihan). Dalam menyusun kurikulum dan silabus di sebuah DIKLAT, maka TNA harus benar-benar dilakukan dengan baik. Misalnya untuk suatu materi dasar komunikasi, maka harus dinalisa kebutuhan seorang mandor dalam hal komunikasi di lapangan dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam menggulirkan program PHBM dan PHL. Sehingga nantinya materi yang diperlukan dapat diberikan dengan jelas dan sampai seberapa kedalamannya. Sehingga alokasi jam pembelajaran (JP) dan SPAP (Satuan Pokok Acara Pembelajaran) bisa disusun dengan baik, sesuai dengan alokasi waktu yang dibutuhkan.


Mengapa penulis mengangkat hal ini, karenan ketepatan dalam keberhasilan pembelajaran berikut simulasi lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa, sangat ditentukan juga oleh akurasi dalam kurikulum dan silabus-nya.


Hal ini pernah penulis mengalami saat melaksanakan kegiatan outbound untuk suatu perusahaan (x), dengan pelaksanaan TNA/ AKP secara kurang akurat. Konsekuensinya adalah pada simulasi dan sequence yang ada. Disamping akurasi dalam hal TNA/ AKP, maka juga harus diketahui secara pasti visi, misi dan budaya kerja serta sasaran yang akan dicapai melalui outbound tersebut. Hal ini kalau tidak ditangani secara serius, maka akan menimbulkan bias pada hasil yang akan dicapai.


Bagaimana dengan PUSDIKLAT SDM, menurut penulis perlu adanya komitmen yang jelas, kita akan mengembangkan potensi SDM/ SDI yang ada atau hanya memilih SDM yang memiliki kompetensi aktual saja. Kalauu demikian yang tidak memenuhi kriteria standar yang telah ditetapkan. Karena tergolong SDM yang "rejected", tidak memiliki potensi standar untuk dikembangkan, bisa dari IQ yang berada <= 80 ataukah standar kualitas lainnya. Tentunya perlu dirumuskan terlebih dahulu.


Kalau kita akan konsisten melakukan pengembangan potensi SDM, maka selayaknya harus dilakukan secara totalitas. Artinya seorang fasilitator harus mendampingi sampai SDM tersebut bisa, baik dari sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Sehingga nantinya mereka menjadi SDM profesional sebagaimana pernyataan misi keempat perusahaan, yakni membangun sumberdaya manusia perusahaan yang bersih, berwibawa dan profesional. Komitmen tentang hal ini yang juga harus jelas, disamping dengan kurikulum dan silabusnya.


Sebagai "lokomotif" perusahaan, maka PUSDIKLAT SDM Perum Perhutani harus memiliki kejelasan dalam hal pengembangan SDM perusahaan. Sehingga hasil yang akan dipetik juga menjadi jelas pula.


Demikianlah sumbangsaran dari penulis untuk Perum Perhutani tercinta.




Selamat berjuang, untuk kejayaan perusahaan.








Perlunya pelayanan prima


Pemerintah melalui SK. No. 63/ M.PAN/ 7/ 2003 tentang prinsip dalam memberikan pelayanan untuk organisasi pemerintah termasuk BUMN-nya, yang akan menjadi Undang-undang dan saat ini sedang diproses untuk RUU-nya. Bahkan melalui SK tahun 2004 juga memberikan cara melakukan evaluasi dalam memberikan pelayanan.
Apabila setiap organisasi pemerintah sudah dihimbau untuk melakukan pelayanan yang baik kepada publik – masyarakat , maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pelayanan yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani yang notabene juga sebuah BUMN, baik terhadap produk (barang dan jasa) yang dihasilkan?
Infrastruktur untuk memberikan pelayanan kepada publik juga telah dibangun untuk menunjang e-government sebagai salah satu wujud penerapan dari GCG (Good Corporate Governance), yakni yang dikenal dengan “JIEMI” (Jaringan Infrastruktur Elektronika Masyarakat Indonesia) dan saat ini di masing-masing PEMDA juga telah ada jarigan tersebut (e-government).
Sebagai BUMN, pelayanan prima harus dilakukan karena orientasi BUMN selain sebagai agen perubahan yang wajib melayani masyarakat juga mencari keuntungan melalui kontribusi dari DPS -nya (Dana Pembangunan Semesta).
Pelayanan prima di bidang produk (kayu, non-kayu, dan usaha lain) diukur melalui performansi, kehandalan, kemudahan dalam penggunaannya, sedangkan untuk jasa diukur melalui SERV-Qual atau dengan TERRA (tangible, empathy, responsiveness, reliability, dan assurance) sebagai dasar dari memberikan pelayanan dalam manajemen mutu terpadu atau yang dikenal dengan TQM (total quality management).

Penulis ingin menyoroti penempatan SDM sesuai dengan karakternya. Karena berdasarkan personality plus, terdapat berbagai 4 tipe kepribadian, yakni sanguinis, kholeris, melankolis,dan phlegmatis. Tipe-tipe tersebut memiliki pengaruh terhadap citra positif/negatif untuk karyawan terutama yang ditempatkan di bagian front liner, meskipun sebenarnya pelayanan prima merupakan hasil dari sebuah kerjasama dari seluruh bagian. Karenanya, penempatan SDM di front liner perlu dilakukan secara jeli, demikian pula dengan penempatan SDM di kehumasan dan pemasaran.

Pelayanan prima ini tidak saja dilakukan terhadap konsumen eksternal, akan tetapi juga untuk lingkungan internal. Hal ini juga tidak terlepas dari 2 dimensi yang akan disorot konsumen eksternal, yakni dimensi prosedural dan dimensi pribadi. Dimensi prosedural, merupakan pencerminan dari process business termasuk komunikasi dalam melakukan process business tersebut, dimensi pribadi sangatlah terkait dengan pribadi sumberdaya manusianya. Refleksi dari hubungan konsumen internal merupakan protret yang akan dilirik oleh konsumen eksternal.

Mengapa penulis sangat tertarik untuk berbicara tentang pelayanan/ pelayanan prima karena ini sebagai penentu dari loyalitas pelanggan. Mengingat saat ini, yang dibeli kosumen tidak hanya produk akan tetapi juga pelayanannya. Meskipun produknya berkualitas, akan tetapi jika pelayanan dalam menyampaikan produk kepada konsumen, dalam kaitannya untuk memenuhi harapan, kebutuhan dan keinginan konsumen.

Sehingga disamping yang bertugas di jajaran KBM, maka disampaikan juga untuk yang bertugas di front liner, misalnya di KPH. Petugas ”front liner” bukan saja yang berada di front desk officer (FDO) akan tetapi termasuk petugas customer service dan SATPAM

Sabtu, 17 Januari 2009

Oh, wisataku yang malang




Ini saya maksudkan agar bisa menggugah pengelola yang lain. Bahwa dalam bisnis, untuk saat ini maka kita harusn mampu mengadopsi harapan, kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Sebagai suatu gambaran, saya angkat contoh untuk pondok wisata puspa. Memang kalau ditilik dari namanya adalah pondok wisata. Akan tetapi terkait dengan keberadaannya, maka marilah kita toleh untuk bangunan (site-B, 1967) atau bangunan asli dari (dahulu wisma Puspa).
Disamping kamar (kurang lebih ada 7 kamar, dengan 5 kamar terletak didalam) dan 2 kamar di luar, kamar mandi umum, dapur, mushola, dan recepcionist.
Secara umum tampaknya sekilas sudah layak dijual. Akan tetapi menurut penulis belum optimal jika mau dijual. Mengapa demikian. Karena dibagian depan pondok sering tampak adanya "hal yang kurang pantas untuk ada". Disamping ruangan recepsionis yang kurang representative, demikian dengan pengaturan taman yang masih kurang asri untuk sebuah pondok wisata.
Untuk ruangan utama, sebenarnya masih ada yang dapat dioptimalkan untuk dijual, dengan mengingat harapan ataupun kondisi pengunjung. Utamanya pengunjung adalah perorangan bukanlah keluarga besar. Sehingga fungsi dari ruang kamar dan hall haruslah dilakukan penyekatan. Kecuali jika segmen penunjung kita adalah seperti itu, akan tetapi juga ada konsekuensinya, yakni akan jarang ditoleh oleh tamu (pengunjung). Untuk dapat layak jual dengan kondisi saat ini, tampaknya harus direnovasi dahulu, dengan menutup pintu keluar kamar ke hall dan memindahkannya ke bagian luar. Sekaligus membuat teras (kalau ada biaya) akan tetapi jika tidak ada, maka cukup dengan membuat teras sederhana saja. Kemudian hall, yang bebas gangguan juga dapat kita manfaatkan untuk ruang rapat berikut dilengkapi sarana penunjangnya, sepeti audio system, lcd projector, desktop, whiteboard, papan flip. Sehingga sangat available sebagai ruangan rapat. Karena selama ini banyak acara rapat yang ingin mengadakan disana akhirnya pindah ke tempat lain, dengan keterbatasan dana. Pondok wisata puspa termasuk salah satu tempat dengan pemandangan yang paling indah dibanding lainnya. Peluang ini yang kita harus tangkap. Bahkan dengan sedikit mengepras teras dekat recepcionist untuk menambah keluasan tempat parkir. Impian penulis kedepan setelah yang sekarang jalan, maka tempat parkir dibuat dibagian bawah tanah, dengan konstruksi yang "oke", karena merupakan daerah yang labil. Kemudian kita juga menyediakan paket wisata kepada pengunjung. Karena disekitar lokasi ada camping ground, air terjun, wisata telaga (Pemda), kebuh teh, trail antara pondok wisata ke Mojosemi yang lumayan bagus dengan panorama kebuh teh (sebagai jogging treck) dengan sedikit polesan. Kemudian mendadani sedikit untuk penempatan lampu di lokasi, pemusnahan gudang, pembersihan lokasi sekitar dari barang yang kurang berguna, bekisting dan penebangan beberapa pohon yang mengancam "keamanan" pengunjung (mengingat daerah ini juga sering dilanda angin ribut), memindahkan kantor dan warung sekitar pondok ke tempat lain yang masih merupakan kawasan kita (tentunya sedikit harus disertai dengan BAP perubahan kelas hutan dari total pangkuan pondok wisata sebagai ldti). Dengan melakukan semacam ini menurut penulis, maka akan menanbah daya tarik pengunjung, baik untuk blok A (2001) , B (1967), dan C (2003). Kemudian perbarbaikan jalan yang menghubungkan 3 lokasi bangunan dan bahkan ditambah dengan selasar sederhana. Lahan bekas kantor koordinator wilayah dan warung sederhana (yang berada di tanah kita), bahkan bisa dijadikan sebagai tempat parkir. Dengan tempat parkir lega dan aman, maka akan menjadikan daya tarik tersendiri. Untuk sementara sebagai wahana magang petugas bisa dilakukan kontrak dengan pihak III yang kompeten dibidangnya selama 2 tahun (dengan target penghasilan Rp. 70 - 75 juta/ tahun, berdasarka trend 3 tahun terakhir). Saat ini penghasilan (2006) Rp 64,5 juta), (2007) Rp. 46,5 dan (2008) Rp 53,4 juta. Sambilnantinya kita mencari investor untuk melakukan kerjasama secara BOT. Dengan memberikan investor kesempatan berusaha selama beberapa tahun (?) dengan memberikan fee selama kerjasama kepada Perum Perhutani.
Mengapa penulis terusik, karena kebetulan penulis sering menggunakan tempat tersebut, baik untuk kepentingan praktek Pusdiklat SDM (pelayanan prima, kewirausahaan dan agribisnis) disamping saat sebagai instruktur eksternal. Penulis selalu berusaha menawarkan kepada pengunjung potensial yang ada. Akan tetapi sulit untukmenjadi penginjung aktual. Karena masalah dana. Kalau akan menyewa hall saja, relatif harus menyewa kamar agar tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi kendalanya. Pondok wisata Puspa memiliki potensi yang sangat cerah dimasa depan. Belum lagi warna cat yang umumnya aga gelap dengan penerangan kamar yang terbatas juga serta tangkapan siaran TV yang sangat terbatas, sulitnya air hangat dan makan, lambatnya pelayanan (dengan keterbatasan jumlah petugas), tidak adanya aiphone yang menghubungkan antar kamar dan recepcionist.
Mudah-mudahan dengan cara ini, maka pengembangan pondok wisata puspa tidak menyalahi aturan yang ada, baik P.43, P.50, PP 06/ 2007 dan SK. 400/ 2007.
Marilah kita berdayakan potensi yang ada secara optimal dalam rangka meningkatkan pendapatan perusahaan kita tercinta ini. Semoga penuangan impian ini bermanfaat.
Bravo rekan-rekan KBM-WBU unit II dan lainnya.


Salam,


Gandrie S

Senin, 12 Januari 2009

Pengembangan Wisata di Perum Perhutani

Wisata di Perum Perhutani, terkadang kita sendiri merasa bingung. Apakah suatu bisnis atau hanya sekedar suatu ”show” saja. Mengapa penulis katakan demikian. Tentunya ada beberapa hal yang mendasari, antara lain :

Pengelolaan dilakukan seadanya
Strategi pengembangan tidak jelas
Kompetensi petugas masih kurang
Komitmen manajemen kurang tegas
Penerapan ”RRC” (reward, recognizition, and celebration)
”Era otoda”
Job tender bagi pimpinan SBU di KBM tersebut
Pemberdayaan petugas tidak jelas

Seharusnya jika akan kita angkat wisata sebagai salah satu ”diversifikasi produk” perusahaan, maka tentunya haruslah kita tangani secara serius. Memang tidak bisa dipungkiri core business kita adalah kayu. Demikian pula dengan kompetensi petugas lapangan yang kebanyakan masih didominasi bidang kehutanan, yang tentunya terdapat kharakteristik khusus untuk mampu menangani bisnis dengan baik. Paling tidak dengan sentuhan pelayanan prima. Bagaimana kepedulian petugas terhadap para pengunjungnya. Disamping kompetensi, kelincahan gerak, dan disiplin petugas tersebut. Siapkah kita dengan ini semua. Jawabannya ada pada diri kita sebagai sumberdaya manusia perusahaan dan komitmen manajemen itu sendiri.

Untuk wisata, penulis melihat kesiapan Jawa Barat dan Banten tampak lebih oke. Bagaimana pelayanan prima dilakukan untuk menggaet minat pengunjungnya. Kebiasaan kita dalam mengelola wisata hanyalah menjual potensi wisata yang ada dengan ala kadarnya. Akan tetapi Jawa Barat dan Banten telah mampu memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan pengunjung dengan menyajikan atraksi lainnya yang benar-benar diperlukan. Misalnya dengan menyediakan kendaraan ATV (All Talent Vehicle), menggabungkan outbound dengan wisata yang ada. Mengapa Jawa Barat dan Banten lebih siap, karena kondisi alam yang menuntut mereka untuk melakukan sesuatu. Beda dengan Unit lain yang memang potensi kayu masih ada, akan tetapi alam parahiangan memaksa pengelola harus mampu mencari penghasilan diluar kayu, dan hail ini sudah berlangsung lama. Dimana Jawa Barat dan Banten dengan pesona alam yang indah dan tanah yang relatif subur, lebih cocok dikembangkan untuk agribisnis tanaman pertanian dan wisata. Kharaketristik wilayah inilah yang menurut penulis memberdakan Unit III dengan Unit lainnya.

Kemudian kita berbicara kembali tentang komitmen manajemen. Tentunya tidak hanya dipasok dengan target penghasilan saja. Akan tetapi harus didukung dengan pengembangan SARPRA, kerjasama usaha yang dimungkinkan. Mengapa demikain karena dalam SK 400/ Kpts/ Dir/ 2007 berbagai bentuk kerjasama yang dapat dilakukan masih ngambang serta diperlukan adanya otonomi dari seorang pimpinan, misalnya GM. Ngambangnya SK 400 tersebut adalah dalam bentuk kerjasama, disamping keterkaitan dengan fungsi kawasan. Karena wisata kita banyak terdapat dalam kawasan hutan.

Berkaitan dengan kompetensi petugas. Kita harus menempatkan sumberdaya manusia yang kita miliki dan berbasis wisata di tempat yang seharusnya. Dimana nantinya mereka dapat diharapkan sebagai ”change agent” teman-teman kita yang berbasis teknis kehutanan. Kompetensi ini sangat penting karena domain wisata sangatlah berbeda dengan pekerjaan teknis kehutanan dan sudah berbau bisnis.

Pengadaan ”Job Tender” untuk setiap pimpinan pengelola wisata haruslah mulai dirintis. Karena kita berbicara bisnis. Bukan sekedar wisata sebagai beban perusahaan atau ”cost centre”.
Dengan dilaksanakannya job tender tersebut, maka kita bisa tahu visi dan rencana penanganan wisata yang diembannya.

Strategi pengembangan wisata. Harus jelas segmentasinya dan siapa yang akan menangani wisata perusahaan. Apakah anak perusahaaan ataukah swakelola perusahaan dengan KBM-WBU. Karena dengan adanya organisasi yang berbeda dalam satu atap akan menimbulkan konflik, yang dapat bersumber dari bermacam-macam hal. Sebagai misal suatu wisata pondok hanya ditangani oleh satu orang petugas. Tentu hal ini adalah sesuatu yang ganjil bagi penulis. Sehingga organisasi wisata ini harus jelas, termasuk job describtion-nya.

Menyikapi OTODA ini juiga merupakan hal penting. Karena dengan adanya OTODA dimana sementara ini dipandang oleh PEMDA bahwa penangan wisata di Perum Perhutani dilakukan setengah hati, maka tidak akan tertutup kemungkinan, untuk mengambil alih wisata tersebut. Belum lagi dengan adanya re-scoring dlsb-nya yang penulis pandang dapat menjadikan ancaman bagi kita jika strategi yang kita jalankan juga tidak jelas. Apabila jelas, maka semenjak awal adanya wisata maka pengelola akan melakukan komunikasi trespektif dengan setiap PEMDA dimana wisata berada.

Pengelolaan yang dilakukan seadanya. Citra ini haruslah kita rubah. Apabila ini berlangsung secara permanen, maka konsumen kita tentu akan kabur. Karena bagaimanapun seorang pembeli atau pengunjung disebuah wisata adalah ”raja”, tanpa memandang mereka adalah siapa.

Pemberian RRC. Hal ini bukan terus penulis mengumbar janji kepada petugas, karena hal ini apabila diperuntukkan perorangan, maka dalam jangka panjang juga akan membahayakan. Karena mereka akan selalu mengharap imbalan. Sehingga kita lambat laun harus merubahnya menjadi ”bagaimana menggugah” motivasi internal sumberdaya manusia melalui pemberdayaan dan transparansi kebijakan.
Hal itulah yang penulis rasa, bagaimana kita bisa menjadikan wisata bukan hanya mampu meraup ≥2-3% dari total pendapatan perusahaan/ tahun. Akan tetapi juga mampu merubah citra bahwasannya wisata kita sekarang sudah ”mrungsungi” menjadi primadona selain kayu di Perum Perhutani tercinta kita.
Sukses untuk team wisata Perum Perhutani. Semangat terus dan jadikan wisata primadona kita.