Senin, 12 Januari 2009

Pengembangan Wisata di Perum Perhutani

Wisata di Perum Perhutani, terkadang kita sendiri merasa bingung. Apakah suatu bisnis atau hanya sekedar suatu ”show” saja. Mengapa penulis katakan demikian. Tentunya ada beberapa hal yang mendasari, antara lain :

Pengelolaan dilakukan seadanya
Strategi pengembangan tidak jelas
Kompetensi petugas masih kurang
Komitmen manajemen kurang tegas
Penerapan ”RRC” (reward, recognizition, and celebration)
”Era otoda”
Job tender bagi pimpinan SBU di KBM tersebut
Pemberdayaan petugas tidak jelas

Seharusnya jika akan kita angkat wisata sebagai salah satu ”diversifikasi produk” perusahaan, maka tentunya haruslah kita tangani secara serius. Memang tidak bisa dipungkiri core business kita adalah kayu. Demikian pula dengan kompetensi petugas lapangan yang kebanyakan masih didominasi bidang kehutanan, yang tentunya terdapat kharakteristik khusus untuk mampu menangani bisnis dengan baik. Paling tidak dengan sentuhan pelayanan prima. Bagaimana kepedulian petugas terhadap para pengunjungnya. Disamping kompetensi, kelincahan gerak, dan disiplin petugas tersebut. Siapkah kita dengan ini semua. Jawabannya ada pada diri kita sebagai sumberdaya manusia perusahaan dan komitmen manajemen itu sendiri.

Untuk wisata, penulis melihat kesiapan Jawa Barat dan Banten tampak lebih oke. Bagaimana pelayanan prima dilakukan untuk menggaet minat pengunjungnya. Kebiasaan kita dalam mengelola wisata hanyalah menjual potensi wisata yang ada dengan ala kadarnya. Akan tetapi Jawa Barat dan Banten telah mampu memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan pengunjung dengan menyajikan atraksi lainnya yang benar-benar diperlukan. Misalnya dengan menyediakan kendaraan ATV (All Talent Vehicle), menggabungkan outbound dengan wisata yang ada. Mengapa Jawa Barat dan Banten lebih siap, karena kondisi alam yang menuntut mereka untuk melakukan sesuatu. Beda dengan Unit lain yang memang potensi kayu masih ada, akan tetapi alam parahiangan memaksa pengelola harus mampu mencari penghasilan diluar kayu, dan hail ini sudah berlangsung lama. Dimana Jawa Barat dan Banten dengan pesona alam yang indah dan tanah yang relatif subur, lebih cocok dikembangkan untuk agribisnis tanaman pertanian dan wisata. Kharaketristik wilayah inilah yang menurut penulis memberdakan Unit III dengan Unit lainnya.

Kemudian kita berbicara kembali tentang komitmen manajemen. Tentunya tidak hanya dipasok dengan target penghasilan saja. Akan tetapi harus didukung dengan pengembangan SARPRA, kerjasama usaha yang dimungkinkan. Mengapa demikain karena dalam SK 400/ Kpts/ Dir/ 2007 berbagai bentuk kerjasama yang dapat dilakukan masih ngambang serta diperlukan adanya otonomi dari seorang pimpinan, misalnya GM. Ngambangnya SK 400 tersebut adalah dalam bentuk kerjasama, disamping keterkaitan dengan fungsi kawasan. Karena wisata kita banyak terdapat dalam kawasan hutan.

Berkaitan dengan kompetensi petugas. Kita harus menempatkan sumberdaya manusia yang kita miliki dan berbasis wisata di tempat yang seharusnya. Dimana nantinya mereka dapat diharapkan sebagai ”change agent” teman-teman kita yang berbasis teknis kehutanan. Kompetensi ini sangat penting karena domain wisata sangatlah berbeda dengan pekerjaan teknis kehutanan dan sudah berbau bisnis.

Pengadaan ”Job Tender” untuk setiap pimpinan pengelola wisata haruslah mulai dirintis. Karena kita berbicara bisnis. Bukan sekedar wisata sebagai beban perusahaan atau ”cost centre”.
Dengan dilaksanakannya job tender tersebut, maka kita bisa tahu visi dan rencana penanganan wisata yang diembannya.

Strategi pengembangan wisata. Harus jelas segmentasinya dan siapa yang akan menangani wisata perusahaan. Apakah anak perusahaaan ataukah swakelola perusahaan dengan KBM-WBU. Karena dengan adanya organisasi yang berbeda dalam satu atap akan menimbulkan konflik, yang dapat bersumber dari bermacam-macam hal. Sebagai misal suatu wisata pondok hanya ditangani oleh satu orang petugas. Tentu hal ini adalah sesuatu yang ganjil bagi penulis. Sehingga organisasi wisata ini harus jelas, termasuk job describtion-nya.

Menyikapi OTODA ini juiga merupakan hal penting. Karena dengan adanya OTODA dimana sementara ini dipandang oleh PEMDA bahwa penangan wisata di Perum Perhutani dilakukan setengah hati, maka tidak akan tertutup kemungkinan, untuk mengambil alih wisata tersebut. Belum lagi dengan adanya re-scoring dlsb-nya yang penulis pandang dapat menjadikan ancaman bagi kita jika strategi yang kita jalankan juga tidak jelas. Apabila jelas, maka semenjak awal adanya wisata maka pengelola akan melakukan komunikasi trespektif dengan setiap PEMDA dimana wisata berada.

Pengelolaan yang dilakukan seadanya. Citra ini haruslah kita rubah. Apabila ini berlangsung secara permanen, maka konsumen kita tentu akan kabur. Karena bagaimanapun seorang pembeli atau pengunjung disebuah wisata adalah ”raja”, tanpa memandang mereka adalah siapa.

Pemberian RRC. Hal ini bukan terus penulis mengumbar janji kepada petugas, karena hal ini apabila diperuntukkan perorangan, maka dalam jangka panjang juga akan membahayakan. Karena mereka akan selalu mengharap imbalan. Sehingga kita lambat laun harus merubahnya menjadi ”bagaimana menggugah” motivasi internal sumberdaya manusia melalui pemberdayaan dan transparansi kebijakan.
Hal itulah yang penulis rasa, bagaimana kita bisa menjadikan wisata bukan hanya mampu meraup ≥2-3% dari total pendapatan perusahaan/ tahun. Akan tetapi juga mampu merubah citra bahwasannya wisata kita sekarang sudah ”mrungsungi” menjadi primadona selain kayu di Perum Perhutani tercinta kita.
Sukses untuk team wisata Perum Perhutani. Semangat terus dan jadikan wisata primadona kita.

2 komentar:

manjalink mengatakan...

Salam All tekopreneur bloggers !

Memang menurut pendapat saya, kelola wisata Perum Perhutani, masih sangat-sangat perlu di up grade. Hanya saja harus cermati bagian mana yang perlu di up grade, perlu diagnosis yang seksama agar efektif dan efisien.

Citra merupakan permasalahan yang mudah dibicarakan namun pelaksanaannya memerlukan banyak langkah dan keberanian. Tanpa itu, sebesar apapun potensi yang dikandung, hasil yang didapat akan jauh dari harapan.

Saatnya komoditas kayu mulai dihemat dan komoditas non kayu seperti wisata digenjot habis untuk menunjang bisnis Perhutani.
Namun untuk itu memerlukan investasi besar terutama pada non fisik, yaitu pada SDM dan sistem management khusus pada penanganan bisnis wisata yang tidak bisa dilakukan asal-asalan, mengingat dinamika bisnis wisata yang amat tinggi.

Pasar adalah penentu arah pengembangan dan strategy pemasaran dengan jiwa customer satisfaction orientation.

Potensi wisata akan laku kalau dapat memenuhi need dari pelanggan dan mampu memberikan kesan bagi pengunjung yang datang.
Untuk dapat menangkap kedua hal tersebut, semangat dan jiwa entrepreneur sangat dibutuhkan.

Manajemen dengan warna birokrasi yang kental akan membentuk benteng hambatan terhadap pengembangan bisnis wisata itu sendiri.

So, kalau kita lihat kondisi pengelolaan wisata kita khususnya di Jawa Timur, seyogyanya tidak hanya menilai kompetensi petugas lapangannya, tetapi overall, sehingga ketemu akar permasalahannya.

Kondisi fasilitas, konstruksi dan site design yang ada nampaknya memang tidak didesign untuk bisnis, tetapi mulanya didesign untuk kepentingan internal, sehingga kaku untuk bisnis. Contoh PW Foresta Pasir Putih maupun Tretes, Puspa Sarangan dan Padusan Pacet.

Kapasitas kamar dan kelengkapan yang tersedia yang tersedia juga sangat membatasi pasar yang bisa dibidik. Untuk keperluan keluarga mungkin masih bisa, tetapi untuk keperluan meeting, out bound, maupun acara lain yang memerlukan jumlah kamar relatif banyak dan memerlukan fasilitas ruang rapat, aula, kantin dan lainnya, maka PW kita tidak siap melayani, belum lagi SDM, sistem pelayanan dan fasilitas pendukung berupa sarana kamar.

Kenapa Jawa Barat bisa lebih maju ? bukan hanya potensi pasar yang besar, karena pada dasarnya potensi pasar bisa dikondisikan / bisa dibangun melalui banyak cara melalui berbagai media dan metode.

So, daei mana semua itu bisa dimulai, akan buang energy kalau pelaksana yang disoroti dan dibenahi

Ok sementara itu saja dulu, banyak yang bisa dibahas, tapi mungkin sebaiknya sedikit demi sedikit.

Salam,
Murgunadi

daryono atmo maryono mengatakan...

Wah... saya barusan mbaca enam strategi Perhutani meningkatkan pendapatan di blog nya bumn.go.id. Salah satunya adalah pengembangan wisata yang terintegrasi. Saya tidak tahu maksud kata yang terintegrasi..apakah juga direncanakan langkah-langkah yang strategis untuk itu oleh manajemen. atau sekedar diserahkan para pelaksana yang kebingungan seperti tulisan ini.

Tampaknya memang perlu kebijakan makro yang jelas didukung rencana yang matang untuk menuju yang diinginkan. Saya sampe sekarang juga belum tahu persis kemana Pergutani kemana dibawa dan bagaimana? prihatin..

salam
daryono ikc