Minggu, 30 Agustus 2009

Pusdiklat SDM menyikapi pengembangan UBS


Pengembangan Unit Bisnis Stratejik (UBS) saat ini senag nge-trend di perusahaan kita, dalam kerangka UBS tersebut Pusdiklat SDM Perum Perhutani termasuk kedalam "management office". Yang perlu ada ketegasan terlebih dahulu tampaknya pada peran dari Pusdiklat SDM itu sendiri. Pusdiklat SDM akan diperankan sebagai "profit center" ataukah "cost centre". Kejelasan peran tersebut nantinya akan terkait dengan komitmen manajemen. Dimana akan memandang Pusdiklat sebagai "locomotor pembangunan SDM" perusahaan (cost centre) dengan memberdayakan "iddle capacity" pelatihan untuk mengoptimalkan asset dan meningkatkan citra perusahaan dengan menyelenggarakan pelatihan, baik outbound, gathering dan paket pelatihan singkat kepada masyarakat umum ataukah sebagai profit centre yang akan menangkap peluang pelatihan dari departemen kehutanan dalam rangka membangun KPHP, peluang assessor dari tenaga profesional kehutanan dan pelatihan singkat lainnya yang dapat dipasarkan, baik dibidang kehutanan ataupun manajerial. Kalau sebagai profit centre, maka peran sebagai lokomotif perusahaan dapat tergeser karena UBS tersebut akan mengejar profit sebagai kewajibannya.

Bagi warga Pusdiklat maa yang akan dipilih kami siap untuk melakukannya. Hanya yang pelu doiperhatikan adalah SDM kita utamanya dalam memberikan pelayanan. Karena kunci keberhasilan bisnis saat ini adalah pada harga dan pelayanan yang diberikan.

Banyak sebenarnya potensi yang dapat dikembangkan oleh Pusdiklat SDM, mulai dari optimalisasi asset, seperti kendaraan, gedung (rapat, pelatihan, OR dan pertemuan), sampai kepada penjualan paket pelatihan, seperti pelatihan singkat dalam presentasi, pelayanan prima, ataupun PHBM kepada masyarakat atau LMDH, outbond, gathering, wisata pendidikan (ada arboretum, kerjasama swasta persemaian dan tanaman jati jun) dan sebagainya.

Belum lagi peluang baru yang dapat ditangkap tentang pembangunan KPHP departemen kehutanan, assessor tenaga profesional kehutanan, bahkan sampai kepada yang paling ekstrem adalah menjual paket pelatihan untuk TKW profesional. Karena kita memiliki sarana untuk itu.

Hal inilah yang sengaja penulis angkat. Karena tentunya terkait dengan portfolio bisnis perusahaan juga. Mana yang berada dalam posisi star, sapi perah, quetion mark ataupun dog.

Menurut hemat penulis setelah ini dirumuskan, barulah menyerahkan kepada unit profit centre untuk mengelolanya. Akan tetapi pengelolaan secara profesional bahkan menjadikan beberapa unit bisnis kedalam anak perusahaan. Ingat dengan pengalaman pahit yang permah kita alami.

Jawa Barat juga sudah mengambil langkah manis. Dengan tidak melakukan ekstensifikasi tanaman kopi. Tetapi mereka memberdayakan potensi kopi glondong basah dengan mendirikan unit bisnis pengolahan kopi bersinergi dengan Primkokar yang ada. Contoh adalah UBS kopi di KPH. Bandung Selatan. Demikian juga dengan pabrik pengolahan minyak nilam hasil masyarakat. Istilahnmya Perhutani sebagai bapak angkat dalam produksi nilam, yang bekerjasama dengan Primkokar. Ini adalah beberapa contoh menarik dari kreativitas teman-teman di lapangan menyikapi perubahan paradigma bisnis saat ini. Akan tetapi agar derap langkah yang dilakukan dapat seirama dengan BOD dan berjalan dengan apik, maka perlu adanya kejelasan dalam komitmen manajemen.

Demikianlah beberapa sumbangsaran dalam kaitannya dengan UBS yang saat ini sedang getol dikembangkan. Lebih baik terlambat daripada "collapse".

Bravo juga kepada teman-teman lapangan.

Sabtu, 29 Agustus 2009

UNIT BISNIS STRATEJIK (UBS)


Saat ini kita sedang gencar membicarakan tentang unit bisnis stratejik (UBS). Sebenarnya apakah yang dimaksudkan dengan unit bisnis stratejik tersebut atau yag biasa disebut dengan bisnis kunci dalam sebuah perusahaan. Menurut Menurut Kotler dan Amstrong dalam principles of marketing (1991), yang dinamakan dengan UBS adalah suatu unit dalam perusahaan yang mempunyai misi dan sasaran tersendiri serta yang dapat direncanakan secara mandiri terhadap bisnis-bisnis perusahaan yang ada. UBS dapat saja merupakan sebuah divisi dari perusahaan, suatu lini produk dalam divisi tertentu, akan tetapi terkadang juga bisa cerminan dari sebuah produk tunggal.

Lha sekarang tinggal kebijakan manajemen, UBS yang seperti apa yang akan dikembangkan di Perum Perhutani. Karena seperti telah disampaikan bahwa UBS sebenarnya ya merupakan bisnis kunci dalam sebuah perusahaan.

Tentunya untuk melangkah sampai kepada bisnis kunci, maka analisa potfolio bisnis perusahaan dengan menggunakan pendekatan The Boston Consulting Group (BCG) ataupun dengan General Electric (GE).

Yang pertama harus kita pilih, apakah UBS tersebut akan dikembangkan menjadi sebuah bisnis kunci perusahaan ataukah divisi. Kalau penulis mencoba untuk menggambarkan, bahwa dengan struktur organisasi baru yang terdapat, baik di kantor pusat ataupun didaerah, maka tampaknya UBS tersebut lebih sesusai berada dibawah deputy direktur pengembangan stratejik. Mengapa demikian, karena dari bagian perusahaan yang secara khusus menangani hal-hal yang bersifat strategis. Kedaerah tentunya juga harus ada penerusnya. Sehingga tidak berhenti ditengah jalan. Menurut hemat penulis, lebih mengarah kepada KBM. Sedangkan KBM mana yang lebih berperan maka tentu harus kita analisa melalui portfolio bisnis terlebih dahulu. Diantara bisnis yang sementara ini kita kembangkan, kita kelompokkan kedalam The BCG Growth Share Matrix, yang mana sumbu vertikalnya lebih kepada daya tarik pasar atautingkat pertumbuhan pasar dan horizontal sebagai kekuatan posisi UBS dalam pasar yang lebih mengarah kepada pangsa pasar. Menurut penulis, maka perlu dikelompokkan terlebih dahulu manakah diantara bisnis perusahaan yang benar benar merupakan bisnis kunci.

Setelah itu, barulah kita kelompokkan dengan menggunakan The BCG growth share matrix. Mana bisnis perusahaan yang masuk kedalam kelompok star, artinya yang punya potensi berkembang pada masa mendatang tentunya pada saat ini memerlukan modal kerja dan investasi yang cukup tinggi. Manakah bisnis yang merupakan tanda tanya bagi perusahaan saat ini. Tanda tanya dalam 2 hal, yakni kedepan apabila dikembangkan memiliki prospek baik ataukah bisnis tersebut kedepan justru perlu dipangkas karena tidak prospektif. Berdasarkan pengamatan penulis, maka yang termasuk kedalam tanda tanya positif (prospektif) adalah perbenihan, pemasaran logs FGS (Jabon, Pulai, Suren, Sengon, Balsa, dll) dan mahoni, minyak atsiri dan minyak kayu putih, pemasaran rotan setengah jadi, pemasaran madu. Sedangkan yang kedepan perlu dipertimbangkan untuk dipangkas produk S4S, flooring, pemasaran seedlak, produk AMDK Perhutani. Kemudian berdasarkan kondisi yang ada, maka sesuai dengan perkembangan jaman juga, bisnis yang termasuk kedalam kategori star adalah indutri pariwisata (ecotourism) karena pada waktunya manusia akan "back to nature", industri furniture dan industri derivat dari gondorukem dan terpentin, usaha lain. Sedangkan bisnis yang merupakan "cash cow" perusahaan adalah pemasaran kayu jati dan rimba (jangka menengah dan jangka pendek). Pertanyaannnya mengapa penulis megatakan kedepan kita lebih mengarah kepada FGS terutama pengembangan hutan rakyat yang memiliki peran ganda, yakni sebagai life support system dan ekonomi yang ramah sosial. Karena jika Perum Perhutaniterus mengembangkan jati genjah, maka resiko yang terjadi akan selalu terjadi konflik dengan masyarakat, utamanya konflik tenurial. Padahal salah satu prinsip PHL harus menjauhi dan bahkan menghindari terjadinya konflik tenurial, khususnya tanah sebagai lahan garapan. Karena masyarakat desa wengkon kita hanya sebagai petani gurem dan akan sering terjadi kegagalan tanaman karena faktor kultural.

Itulah sekedar gambaran singkat dalam rangka pengembangan UBS. Hanya yang perlu ditekankan oleh penulis, bahwa UBS cenderung lebih terkait dengan profit centre bukan cost centre. Sesuai dengan hal tersebut, agar tidak terjadi kerancauan lebih baik ditangani KBM. Sedangkan KPH dan SPH tetap fokus kepada cost centre. Mengapa demikian karena tugas KPH adalah mampu membangun hutan lestari dan SPH mampu melakukan penataan hutan secara baik. Sedangkan KBM harus tetap terfokus untuk menjadi profit centre jangka pendek dan panjang.

Selamat menyikapi perubahan paradigma dalam bisnis perusahaan.

Perlunya segera kejelasan serta juklak dan juknis UBS


Dalam rangka mengimplementasikan pengembangan UBS, maka perlu segera disusun juklak dan juknis-nya sehingga teman teman di lapangan lebih jelas dalam menyikapinya.
Menurut penulis serasa masih ada yang "jumbuh" dengan penerapan UBS dan pembagian peran antara KPH dan KBM. Dulu dinyatakan bahwa unit usaha yang mandiriyang dibentuk Perum Perhutani adalah KBM. Saat ini malah KPH, yang tadinya fokus pada pembangunan hutan lestari, sekarang dibebani target dengan keuntungan alias juga harus berperan ganda sebagai cost centre dan sekaligus sebagai profit centre. Peran ganda ini dapat dianalogikan dengan tape dan radio pada mobil. Maka alat yang berperan ganda akan lebih cepat rusak dibandingkan yang fokus. Kekhawatiran dari penulis akhirnya kita tidak fokus lagi dalam pembangunan hutan untuk menyediakan bahan baku industri sebagai "core bussiness" kita. Nantinya malah pengembangan usaha yang dikuatkan. Karena bahayanya lagi tolok ukur kinerja KPH. sama dengan KBM, yakni keuntungan. Seharusnya KPH. adalah keberhasilan dalam reboisasi dan diakuisebagai PHL itulah tolok ukurnya. Dengan tolok ukur kinerja pada keuangan, maka fokus kita akan rancau. Contoh sekilas, kita telah "men-declare" akan bebas tanah kosong pada tahun 2010. Betulkan demikian ?. Memang reboisasi telah dilakukan pada lahan kosong akan tetapi bagaimana dengan evaluasi keberhasilan tanaman yang amat terkait dengan proforma sebuah KPH dan sekaligus sertifikasi PHL.
Sehingga BOD harus tegas, kemana arah perjalanan KPH dan kemana KBM. Juga jangan seperti saat ini, KBM yang dijadikan profit centre gerakannya terbatas. Kalau menurut penulis, maka KBM jangan berada di bawah Unit melainkan langsung dibawah deputy pengembangan strategis. Terus pertanyaan yang muncul bagaimana dengan pengembangan hutan rakyat. Hutan rakyat tentunya tetap dibawah deputy hutan rakyat, meskipun dengan KPH tetaplah ada koordinasi. Demikian juga dengan KBM. Unit tetap ada jalur koordinasi. Sehingga pengembangan usaha yang kita lakukan dapat fokus. Kemudian dengan kebijakan pengembangan hutan rakyat yang tahun ini cukup luas, sekitar 6 juta ha yang terbagi kedlam 3 Unit berikut sumber pendanaannya. Apakah kita sudah siap jika meminjam dari Bank komersial?. Ingat dengan SDM kita juga. Kalau mador tanam kita sudah menjadi mandor tanam yang profesional, saya sangat setuju dengan kebijakan tersebut, karena sekaligus sebagai stimulus untuk maju dan berkembang.
Sehingga dengan telah keluarnya "tupoksi" untuk masing-masing level manajemen di Perum Perhutani, kebijakan dalam pengembangan usaha serta penerapan unis bisnis stratejik, maka perlu segera dikeluarkan ketentuan yang mengaturnya secara lebih jelas dalam bentuk juklak dan juknis didaerah. Sehingga akan lebih jelas arah pengembangan perusahaan disamping para pelakunya akan semakin lincah dalam berinovasi.
Tumbuhkan kreativitas dan daya inovasimu, menyambut adanya kebijakan dan sekaligus perubahan paradigma dari sumber pendapatan perusahaan.
Selamat dan sukses untuk semuanya, bravo Perum Perhutani

Selasa, 25 Agustus 2009

Mengenal, Budidaya dan Kelayakan Usaha Jamur Tiram


Jamur tiram, merupakan kelompok jamur kayu. Karena di alam terbuka jamur memiliki kandungan fosfor yang masih relatif tinggi dan membahayakan bagi yang mengkonsumsi, maka untuk mengendalikan kandungan fosfor tersebut, maka dilakukannlah budidaya jamur tiram, dengan menggunakan media kayu tiruan, yang dikenal dengan nama "baglogs".

Menurut Sinar Tani (1993) jamur tiram pertama kali diketemukan di Negeri Belanda (1900) yang kemudian menyebar ke Eropa, Amerika, dan selanjutnya ke Asia terutama negara Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang dan untuk selanjutnya pada tahun 1970 masuk ke Indonesia melalui kerjasama kerjasama teknilogi di bidang pertanian atau yang dikenal dengan Agricultural Technical Mission (ATM) dengan Taiwan (Republic of China), yang diawali kerjasama tersebut di Bogor.

Kemudian kerjasama tersebut terus berkembang, dan pada tahun 1990 dikembangkan juga di Malang dan pada tahun 1992 terus dikembangkan kerjasama teknis budidaya ke Sleman-Kaliurang (Yogyakarta).

Ciri fisik jamur tiram mudah dikenali karena bentuknya yang mirip dengan cangkang tiram laut, tumbuhnya berumpun dengan diameter 3 - 10 cm.

Sedangkan macamnya Jamur Tiram, antara lain :


Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Jamur Tiram Merah-Pink (Pleurotus flabellatus)

Jamur Tiram putih susu (Pleurotus florida)

Jamur Tiram putih-krem (Pleurotus sayu)

Jamur Tiram coklat (Pleurotus cystidiosus)


Pada tahun 1992 FAO meneliti bahwa kandungan dari jamur tiram, antara lain :


Lemak 1,41%

Protein 13,80 %

Serat 3,50 %

Karbohidrat 61,68 %

Abu 3,60 %

Zat besi 4,10 %

Fosfor 318 mg

Vitamin B1 0,12 %

Vitamin B2 0,64 %

Niacin 7,80 %

Air 16,10 %


Jamur tiram dapat dikonsumsi dalam bentuk segar ataupun olahan dengan dicampur dengan sayuran lain, misalnya dibuat oseng-oseng kacang dan tenpe, orak-arik wortel dan telur putih,

bahkan dibuat camilan disore haripun sangat enak, dengan cara digoreng dengan dicampur dengan tepung kentucki (kripik jamur), akan tetapi diperlukan waktu lama untuk meniriskan minyaknya.


Sedangkan khasiatnya, menurut Prof. Kojiro Shichijo Dr. Kisaku Mori (1992) :


Memulihkan stamina tubuh

Mencegah terjadinya darah tinggi

Mengatasi anemia dan defisiensi vitamin B1&2

Menghambat pertumbuhan kanker

Mengatasi anak sulit makan (kandungan zat tripsin)


Setelah mengenal sekilas jamur tiram, maka akan diperkenalkan cara budidaya dengan menggunakan kayu tiruan (baglog). Oleh karena itu, sebelumnya akan disampaikan cara pembuatan baglog.


BAHAN PEMBUATAN BAGLOG UNTUK 1 PAKET (3.000 BAGLOGS)


Grajen 3.000 kg

Gipsum 15 kg

Calsium 30 kg

Kapur Dolomid 30 kg

Bibit (F-3) 180 botol

Plastik 3.000 lembar

Air secukupnya


Sedangkan sarana kerja sederhana yang diperlukan

untuk membuat baglog tersebut, terdiri dari :


Terpal plastik sebagai alas kerja

Timbangan Besar

Timbangan Mikro

Pengayak ukuran (1 x 1) meter

Sekrop untuk mengambil bahan yang akan diayak

Ember Plastik untuk mengambil atau tempat air

Gayung untuk mencampur air di adonan

Alat pengepres mekanik atau botol kosong untuk penumbuk

Kotak Inkas untuk menjamin kondisi steril saat inokulasi micelium kedalam baglog

Lilin dan korek api untuk proses sterilisasi

Autoclaf atau drum

Tungku

Troli pengangkut baglogs atau keranjang

Staples

Kawat Peyogok

Pelubang dari Kayu (memasukkan micelium kedalam baglog)

Spiritus


Cara kerja :


Langkah pertama adalah mencampur bahan kemudian memberinya air secukupnya, jangan terlalu kurang ataupun kebanyakan. Ukurannya, apabila campuran digenggam, maka tidak lengket di tangan. Jika terlalu banyak air, maka dikhawatirkan nantinya justru micelium tidak dapat tumbuh. pH berdasarkan pengalaman, berkisar antara 5,4 - 6.

Kemudian campuran bahan dimasukkan kedalam kantung plastik, setelah semua kantung plastik terisi dengan tidak terlalu penuh (2/3 bagian plastik). Selanjutnya dipres atau dipadatkan dengan botol kosong yang ada.

Kemudian bagian atasnya di staples. Setelah selesai kemudian dibawa dengan troli atau diangkut dengan keranjang untuk proses sterilisasi dengan cara dimasak kedalam drum atau dimasukkan autoclaf.

Pemasakan dalam drum memerukan waktu yang relatif lama, yakni 6 - 8 jam dengan suhu sekitar 100 derajad celcius. Apabila menggunakan autoclaf, maka disetting dengan suhu 121 derajad dan tejanan 1,5 bar dan disterilkan hanya selama 2 jam saja.

Setelah selesai proses sterilisasi, maka baglog tersebut harus didinginkan terlebih dahulu selama 24 jam.

Kemudian barulah proses inokulasi micelium dilakukan. Persyaratannya harus dalam kondisi tidak ada angin, menekan terjadinya jamur lain mengikut saat inokulasi dilakukan.

Selanjutnya adalah proses inkubasi atau pemeraman, yang dilakukan biasanya selama 20 hari.

Pada proses pemeraman akan terlihat calon hasil inokulasi yang gagal, dengan ciri bahwa bagian luar serbuk gergaji akan berwarna oranye, coklat atau bahkan hitam. Sebaiknya yang mengalami hal tersebut, harus langsung diupisahkan da dibuang.

Jika sudah tampak warna putih atau micelium sebagai bukti bahwa micelium sudah menyebar, tunggu sampai merata penyebarannya. Kemudian dibuatkan lubang pada baglog dengan cara disilet saja. Bisa dibagian atas atau juga di bagian samping dari baglog. Apabila lubang sedikit maka pertumbuhan jamur umumnya akan lebih besar, disamping irit dalam menguras nutrisi dalam baglog. Akan tetapi bila banyak jalan atau lubang sebagai tempat keluarnya jamur, maka jamur ukurannya akan lebih kecil, disamping cadangan nutrisi dalam baglog akan cepat habis. Sehingga belum sampai waktu sekitar 4 bulan maka sudah berhenti tumbuh. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan berat baglog yang amat ringan.

Tadi setelah diperam selama 20 hari, selanjutnya disimpan kedalam rak jamur yang telah disediakan. Baglogs diletakkan tidur dan disusun secara rapi. Biasanya rak tersebut diletakkan dalam srumbung plastik atau rumah.

Selama masa penumbuhan jamur, jangan sekali-kali baglog disiram. Apabila panas maka hanyalah lingkunga dimana baglog berada yang disiram. Ruangan harus benar benar steril. Yang baik bahkan pada saat masuk harus melepas alas kami, dan kaki dicelum terlebih dahulu kedalam larutan desinfectan (bisa formalin) yang diletakkan dalam tempat seperti bak kecambah.

Dalam jangka waktu 30 - 60 hari setelah pemeraman, maka jamur akan mulai tumbuh, muncul dari lubang yang telah dibuat pada baglog.

satu musim pemeliharaan jamur tiram umumnya selama 6 bulan. Lebih dari 6 bulan umum sudah tidak efisien lagi.

Setiap baglogs selama 1 musim akan menghasilkan secara umum adalah 0,7 kg jamur. Akan tetapi karena resiko dalam pemungutan dan pengemasan, pengalaman penulis hanya tersisa sebanyak 0,5 kg dari 0,7 kg yang dihasilkan setiap baglog.

Setelah dipanen, maka jamur dibersihkan. Setelah dibersihkan biasanya ada pengepul yang datang, dengan harga jual tingkat petani antara Rp. 7000 sampai dengan Rp 7500,-.

Apabila dikemas sendiri dan dijual ke Supermarket (hati-hati bisnis jamur termasuk bisnis kartel) dapat mencapai harga sampai Rp. 12000,-/ kg akan tetapi kemasan kita umumnya hanya 200 gram saja. Dijual kepada konsumen dengan harga Rp 18.000/ kg.

Jamur merupakan agribisnis yang sangat "fragile dan perishable" karena mudah rusak dan cepat sekali layu. Umumnya hanya berumur 1 hari kecuali dimasukkan lemari pendingin yang dapat menambah umur kesegaran sampai 5 hari atau bahkan 1 minggu.


KELAYAKAN USAHA JAMUR TIRAM


Pendapatan = 3000 x 0,5 kg = 1500 kg

Jika harga tingkat petani Rp. 7000,-, maka akan diperoleh hasil = Rp. 10.500.000,-

Biaya tetap (penyusutan peralatan per-musim) = Rp 616.600,-

Biaya operasional = Rp. 3.277.500,- (per-musim)

Laba operasional = Rp. 7.222.500,-

Total Biaya = Rp. 3.894.100,-

Investasi sarana (> 1 musim) = Rp. 1.850.000,- (cara sederhana)


B/C ratio = 3,20

ROI = 269,64%

BEP = Rp. 2.185,-/ kg

Rentabilitas = 127,37% (jauh lebih tinggi dari tingkat suku bunga pinjaman)


Usaha jamur sangat likwid terutama jika dilakukan di pedesaan, karena dapat menekan biaya operasionalnya, misalnya penggunaan air, bahan bakar tungku, tenaga kerja, sewa tempat untuk penyimpanan setelah pemeraman. Sehingga dapat menyebabkan B/C ratio tinggi maupun pada rentabilitas yang tinggi. Sedangkan sara yang digunakan juga sangat sederhana, sehingga akan menekan modal investasi dan akan berpengaruih pada nilai ROI-nya







Minggu, 23 Agustus 2009

Unit Bisnis Stratejik (UBS)


Unit Bisnis Stratejik atau Strategic Bussiness Unit (SBU) pada saat ini telah dikembangkabn oleh perusahaan. Menurut SK. Nomor 399/ Kpts/ Dir/ 2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Tugas Pokok dan Kewenangan Pada masing-masing level manajemen Perum Perhutani tela ditetapkan bahwa unit bisnis stratejik terbagi kedalam 3 level, yakni Direksi (Management Office), Unit (Regional Strategic Management) dan KPH/ KBM (Operational Management). Permasalahan yang ada disini tidak dipisahkan antara profit centre dan cost centre. Karena dengan ditetapkan bahwa KPH sebagai pengelola hutan yang lestari, maka akan timbul konsekuensi tentunya akan muncul sebagai "cost centre", dimana KPH akan mencurahkan segala sumberdaya finansial yang ada untuk berlomba-lomba membangun potensi SDH yang baik ataupun dalam konteks yang lebih luas, yakni SDA. Dalam perjalanannya KPH saat ini juga harus bertindak sebagai "profit centre" dimana juga mengembangkan wisata yang "tidak laku" masuk KBM ataupun anak perusahaan PALAWI. Padaal seharusnya kalau penyerahan hasil hutan kayu ke KBM pemasaran dan atau industri dilakukan "transfer pricing" nilai kayu. Mengapa pada saat penyerahan wisata dari KPH kepada KBM atau PALAWI tidak dilakukan hal yang sama.

Dengan kejadian ini, tentunya upaya yang telah dilakukan KPH dalam "mendadani" wisatanya tidak akan terlihat yang dapat nama hanyalah KBM atau PALAWI saja.

Pengembangan usaha, kalau menurut hemat penulis sebaiknya dilakukan oleh KBM dengan unit bisnis tertentu, dengan unit bisnis yang tidak berorientasi produk semata, akan tetapi berorientasi pasar. Misalnya unit bisnis penyedia bahan minuman, yang didalamnya ada produk poka, kopi, air mineral, dll. Hal ini teringat penulis akan apa yang disampaikan Levitt dalam "myopia management". Dengan unit bisnis seperti itu, maka akan dapat berlangsung lama tidak tergantung preferensi atau selera konsumen, trend semata.

Dengan keluarnya SK. Nomor 399/ Kpts/ Dir/ 2009 tersebut, maka tentu akan rancu lagi.

Contoh misalnya PUSDIKLAT SDM yang memiliki tugas pokok membangun SDM perusahaan, tentunya akan memanfaatkan ruang, waktu dan anggaran untuk membangun SDM Profesional. Hanya pada saat terjadi "iddle" capacity (jika ada) akan membuka paket pelatihan atau menyewakan tempat untuk umum, termasuk penyewaan kendaraan, tentunya. Kerancuan semacam inilah yang membuat kita selamanya "kurang focus" dalam menangani sesuatu.

Untuk bisa berhasil dalam usaha tentunya diperlukan fokus, meskipun tidak menutup kemungjinan adanya diferensiasi dan diversifikasi produk dalam usaha, akan tetapi konteksnya tetap pada ril "bisnis". Kalau tidak salah, hal ini pernah terjadi di DIVLAT PT. TELKOM, yangterus mencari pendapatan dari pelatihan yang dijual bahkan ke manca negara, akan tetapi pembangunan SDM TELKOM sendiri pernah tersendat. Akan tetapi kemudian manajemen menyadari dan kembali pelatihan menjadi "cost centre". Hal ini tentuna akan juga membawa dampak bagi PUSDIKLAT SDM ataupun KPH.

Penilaian KPH. bukan pada berapa keuntungan yang diperoleh akan tetapi justru kepada bagaimana nilai pembangunan hutan dan udara. Hal inilah yang harus kita rumuskan sedangkan penilaian KBM adalah pada kinerja bisnisnya.

Demikianlah sekilas cetusan sebelum unit bisnis stratejik semakin berkembang menjamur di Perum Perhutani. Menurut hemat penulis, nanti ada UBS agribisnis ataupun apa yang berada dibawah naungan KBM WBU yang akan menangani kayu putih, seedlak, air, kopi, nilam dan sebagainya yang ternasuk kedalam agribisnis. Dimana nanti ada kasi minyak atsiri, kasi bahan baku minuman dan kasi perikanan ataupun lainnya.

Terimakasih, semoga dapat menjadikan renungan bersama.

Perlunya Kejelasan Aturan Dalam Pengembangan Usaha


Pengembangan usaha saat ini lagi giat-giatnya dilakukan perusahaan. Dalam rangka memenuhi kesenjangan yang terjadi. Hanya agar pelaksanaannya tidak simpang siur, maka perlu diterbitkan juklak dan juknis yang konkrit dalam konteks optimalisasi asset dan pengembangan potensi sumberdaya alam perusahaan.

1. Sebagai suatu misal dibidang optimalisasi asset.

Suatu tanah perusahaan yang akan dikembangkan menjadi sesuatu bangunan tertentu.

Maka secara yuridis formal, karena akan diusahakan untuk menghasilkan pendapatan, maka harus mengacu kerujuk kepada UU 19/ 2003 dan juga SE Menteri Keuangan Tahun 1989 (no lupa). Kemudian berapa batasan nilai yang harus dilaporkan Direksi, Dewan Pengawas dan akhirnya Meneg BUMNsampai kepada Meneg BUMN.

Sesuai dengan ketentuan tapak dan tata kota maka harus dilakukan penilaian "Highest and best use (HBU)" yag juga harus merefers juga kepada Pweraturan Menteri PU No 5/ PRT/ 2008 tentang Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan (kaitannya juga dengan HBU).

Barulah lokasi tersebut dapat dikerjasamakan dengan salah satu bentuk kerjasama, seperti BOT, BTO atau yang lainnya. Disamping perlu adanya kejelasan pengaturan fee, dalam kerjasama pembangunan jangka panjang seperti BOT, BTO (perlu adanya juknis).

Juga dalam batasan nilai berapa yang harus ijin dari direksi atau bahkan dewan pengawas serta Meneg BUMN.

Kejelasan dalam hal itu, tentu akan membantu teman-teman Administratur dalam melaksanakan tugasnya untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dengan mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh perusahaan. Atau yang dilakukan oleh unit usaha yang berorientasi profit centre setelah sekarang ada UBS.

2. Dibidang pengembangan potensi SDA

Kejelasan perijinan, terutama jika untuk kegiatan diluar kehutanan. Hal ini menggelitik penulis karena untuk mengamankan pengembangan "mina-wana, agro-forestry".

Semisal pengembangan tanaman kopi di kawasan lindung ataupun dalam kawasan produksi.

Di Perhutani belum pernah mencabut SK. 434/ Kpts/ Dir/ 1990 tanggal 14 April 1990 perihal : pedoman pengelolaan kopi hutan. Dimana dalam kebijaksanaan, khususnya point 1 yakni "tanaman kopi yang sudah ada dalam kawasan hutan perlu dibudidayakan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan, dengan dikelola secara intensif dan profesional" dan point 2 disebutkan bahwa "tidak diperkenankan adanya penambahan/ perluasan areal tanaman kopi dalam kawasan hutan". Sedangkan apa yang terjadi saat ini dalam rangka pengguliran PHBM, justru ekstensifikasi yang banyak terjadi dengan melakukan pengembangan kopi varietas "aceh tengah". Sehingga menurut hemat penulis dalam rangka mensukses unit bisnis strategik maka perlu menyempurnakan SK. 434 tahun 1990 tersebut dengan melakukan intesifikasi (meremajakan tanaman kopi yang sudah lansia) disamping pemeliharaan seperti di perkebunan dan pelaksanaan copies system serta ekstensifikasi pada kawasan hutan yang memungkinkan. Karena bagaimanapun untuk melakukan penanaman kopi yang baik perlu dilakukan adanya pengolahan tanah, utamanya dalam hal pengolahan tanah dalam lubang tanam, yang untuk kopi cukup besar, yakni 60x60x60 cm atau bahkan 75x75x75 cm, serta membutuhkan tempat pertumbuhan yang relatif datar. Saat ini banyak juga yang dikembangkan di hutan lindung dengan alasan klise untuk melegalkan okupasi ataupun lainnya. Sehingga perlu segera dilakukan tindak lanjut ataupun menyempurnakan dari SK. 400 jo 433/ Kpts/ Dir/ 2007.

Mengapa penulis tertarik mengangkat hal ini, karena kebetulan penulis sebagai pengampu materi pengembangan usaha lain di Pusdiklat SDM Perum Perhutani.

Guna menyiapkan kader lapangan yang tangguh maka segala ketentuan yang ada haruslah jelas, sehingga mereka tidak akan ragu dalam melangkah.


Hal lain yang menarik adalah mengenai pembuatan menara perlindungan hutan. Haruslah kita waspadai, karena sudah banyak berkembang "itu hanyalah upaya kamuflase dari Perum Perhutani", disamping adanya kejelasan perijinan dan SKK penandatanganan PKS yang terjadi.

Semoga hal ini dapat mengusik ataupun menyentil yang berada di bidang kepatutan hukum perusahaan. Karena Permen P.50/ Menhut-II/ 2006 sendiri sudah kurang berfungsi bebas semenjak adanya Permen P.43/ Menhut-II/ 2008. Padal acuan dari SK 400 dalam pengembangan usaha adalah P.50.

Marilah hal ini dapat segera dibenahi bersama, demi terciptanya tambahan penghasilan perusahaan.


Rabu, 06 Mei 2009

Taruna Simba


Wah wah wah. Dimana semuanya, nich. Mbah simba bertanya.

Tahun 2001 kalau tidak salah pada bulan Juni, Perum Perhutani (khususnya Pusdiklat SDM, Madiun) memiliki tugas membangun SDM dengan latarbelakang S-1 Kehutanan (pra-tugasnya).Pada saat selesainya masa pendidikan, mereka menamakan diri sebagai "WANA TARUNA SIMBA". Sepengetahuan saya, kalau tidak salah, saat ini mereka saat ini rata-rata sudah dalam tataran jenjang IV (mininal) dan tentunya bervariasi sesuai dengan kompetensi dan unjuk kinerja pribadinya.

Mereka semuanya berjumlah 18 orang (pa-pi), dan berita terakhir yang saya dengar tinggal 17 orang. Karena satu orang, pindah ke BAPLAN (Mbak Ela, red).

Kebetulan saat itu, penulis adalah juga warga baru di Pusdiklat SDM Perum Perhutani, dan dipercaya oleh manajemen untuk menjadi "pengasuh" pra-tugas. Kalau sekarang adalah "wali kelas". Menurut pandangan penulis yang juga pengasuh, mereka adalah "kader-kader" potensial perusahaan sebagai "forester". Ada yang menyukai bidang riset, perencanaan, produksi, sdm dan bahkan wisata. Khususnya Toni (whe are you). Bagaimana dengan planning-mu dulu. Ada Irma yang cantik, enerjik, sayang inginnya di Jakarta. Ada Wawan, Didiet (kalau gak salah di Kantor Unit II). Ada 2 orang yang selalu mendampingi mbah, pada saat mengampu di Pusdik, yakni Ratno Ndeso dan "Jack" Joko. Ada juga yang selalu bersembunyi, si Faried Januardy. Untuk yang berada disekitar Madiun dapat Mbah berdayakan sebagai asisten dari Pengembangan Usaha Lain dan Kewirausahaan. Sayang Irma jauh, harusnya bisa menemani Mbah di materi CSO. hehehehe.

Kapan kita reuni, tapi sekaligus harus memunculkan ide kreatif yang membumi, demi perusahaan tercinta kita. Ingat dengan kepemimpinan, yang bagaikan komponen sebuah rumah.

Masih Mbah pajang kenangan itu.

Kapan-kapan kumpul di Pusdik aja. Biar irit baiaya, sambil ngundang Rheinald Kasali dengan "change"-nya. Jadi pada dasarnya Mbah punya 3 cucu, yakni Taruna Simba", "PMK-IX" dan "PMK-X". Bukan yang lain tidak. Hanya kebetulan intens sekali berkumpul dengan mereka. Sekarang-pun juga ada DKP-II TNK Angkatan III Tahun 2009.

Kalau "tom and Jerry" masih ada kontak, meski di Ciamis. Tapi pemilik Pondok Unyil Mas Kokom, kemana atuh. Nongol dong. Mbah ada blog, ada FB, ada flickr, e-mail. Sekarang khan katanya era-ICT (information, Communication and Technology), juga pemerintah telah mengembangkan JIEMI (Jaringan Infrastruktur Elektronik Masyarakat Indonesia), semenjak tahun 2002. Sehingga tidak ada alasan, gak bisa komunikasi. Bhkan katanya ada milis dari Taruna Simba, demikian juga untuk PMK-IX dan PMK-X. Mana kok tidak bersuara.

Ayo "brainstorming" kan kemampuanmu untuk kemajuan perusahaan.

Selamat bertugas para Taruna Simba-ku. Sukses selalu untuk-mu. Mbah sudah tidak seperti dulu lagi. Karena pada tahun 2004, terserang penyakit stroke dan Vertigo. Jadi jalannya alon-alon asal sampai tujuan dan gak sanggup untuk perjalanan jauh. hehehhe. Alasan klise, ya.

Sekali lagi met bertugas. Salam dari Mbah untuk kalian

Jumat, 01 Mei 2009

Nilam


Merupakan suatu alternatif dalam kerjasama usaha pengembangan tanaman nilam dan bahkan minyak nilam. Nilam (Pogostemon mentha) merupakan tanaman asli dari Filipina. Tanaman nilam akan tumbuh secara optimum pada tepat dengan ketinggian 10 - 400 meter dpl. Disamping nilam juga merupakan tanaman yang tidak haus air dan tahan kering, hanya butuh curah hujan yang merata sepanjang tahun, dengan intensitas 2000-3500 mm/ tahun. Dari tanaman nilam ini, dapat dihasilkan minyak atsiri yang biasa disebut dengan minyak ateris atau minyak terbang (essential oil, volatile).


Sedangkan manfaat dari minyak nilam, antara lain sebagai antiseptik, anti jamur, anti jerawat, obat eksim, anti ketombe, kulit pecah pecah. Bahkan juga dapat digunakan untuk mengurangi depresi, menobati penderita imsomania, serta dapat meningkatkan gairah seksual.




BUDIDAYA NILAM.


Dalam 1 ha lahan dapat dikembangkan nilam antara 10.000 - 25.000 planches. Daerah pegunungan lebih sedikit jumlah planches dalam 1 ha, dengan jarak tanam 50 x 50 cm). Sedangkan didataran rendah dengan jarak tanam yang lebih rapat tentunya). Prosen tumbuh tanaman biasanya mencapai 90%.


Bibit bisa berasal dari pembibitan secara generatif ataupun penanaman secara langsung dengan menggunakan stek batang (50 cm) langsung ke lubang tanam. Bibit secara geratif dengan setelah dikembangkan di persemaian selam 3-4 minggu.


Panen pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur 6 bulan, dengan rerata hasil sebanyak 1 - 1,5 kg per-batang. Kemudian pada umur 9 bulan, dengan hasil 1,5 - 2 kg/ batang dan pada umur 12 bulan dengan panenan sebanyak 1,5 - 3 kg/ batang tanaman. Secara rata-rata, jumlah panen dalam setahun mencapai 4 - 7 kg per-batang.


Jika pemeliharaan dilakukan secara baik pada tanaman nilam, maka dapat dipanen sampai 8 kali alias sampai mencapai umur 27 buklan (=/- 2,5 tahun). Jarak pemanenan dilakukan setiap 3 bulan, setelah panen pertama saat bermur 6 bulan. Setelah penanaman nilam, sebaiknya harus dirotasi, untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah karena terkuras habis oleh perakaran nilam.


Penanaman nilam sebagai tanaman tumpangsari sebaiknya dilakukan secara murni, akan tetapi biasanya dikombinasikan dengan tanaman cabe, atau tanaman pertanian lainnya. Pupuk dasar biasanya digunakan sebanyak 10 ton/ ha. Kemudian setelah umur 1 bulan diberkan 50 kg urea/ha atau 1 sdm per-batang secara melingkar, 30 kg SP-36 dan 30 kg KCl per-ha tanaman nilam. Pemupukan selanjutnya pada saat tanaman berumur 3 bulan dengan dosis 150 kg urea, 60 kg TSP dan 60 kg KCl. Selanjutnya diberikan stelah panen dengan dosis sebesar urea (150 kg), SP-36 (75 kg), dan KCl (75 kg). Pada saat penanaman diberikan juga pupuk NPK dengan dosis 1 sdt/ batang yang ditabur secara melingkar,kemudian disemprot dengan pupuk daun SUPER NASA (2 cc dalam 1 ltr air).


Pada saat pemanenan harus disisakan 2 tunas untuk menghindari terjadinya kematian, karena pemanenan yang terlalu keras.


Sedangkan rendemen minyak sekitar 1,2 - 3% per-kwintal daun kering, apabila ditanam di lahan kering.




ANALISA USAHA.


Asumsi :


Harga bibit/ polybag adalah Rp. 500,-


Jumlah batang/ ha = 18.000 planches


Tingkat keberhasilan = 90%


Perolehan daun = 4 kg/ batang


Jumlah bibit/ ha = 18.000


Harga jual daun basah = Rp. 3500,-/ kg


Biaya produksi per-ha = Rp. 90.000.000,- (termasuk bibit dan pupuk)


Penerimaan Daun Basah = 4 x 18.000 x 90% x 3500,- = Rp. 226.800.000,-


Maka kelayakan usahanya adalah :


B/C ratio = 226.800.000/90.000.000 = 2,52 (sangat likwid)


Rentabilitas = (226.800.000-90.000.000)/(90.000.000) x 100% = 152% (merpakan usaha yang prospektif, meskipun didanai dari pinjaman bank).


Hehehe. Iseng-iseng konyol. Tapi tampaknya data biaya operasional dan total biaya kurang valid.








Sabtu, 25 April 2009

Pengembangan Usaha


Sementara ini untuk pengembangan usaha, kita mengacu kepada Permenhut P.50/ Menhut-II/ 2006 dan SK. 400/ Kpts/ Dir/ 2007. Akan tetapi dengan adanya Permenhut P.43 pasal 6 ayat (2), maka seolah-olah untuk pengembangan usaha, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan diluar kehutanan, sepertinya kita jadi lemah. Seperti pendirian tower dalam kawasan hutan, apalagi di hutan lindung lagi. Semuanya dilemahkan terhitung tanggal 10 Juni 2008 (kalau tidak salah, Permenhut P. 43/ Menhut-II/ 2006).


Karena berdasarkan pasal 6 ayat (2) Permenhut tersebut, setiap kerjasama yang akan dilakukan oleh Perum Perhutani tidak sebebas dulu lagi, karena harus menunggu persetujuan dari Menteri Kehutanan terlebih dahulu.


Oleh itu, untuk mengembangkan sekaligus meng-optimalkan potensi dan asset perusahaan harus segera dilakukan terobosan untuk mementahkan Permenhut P.43 tersebut. Karena sementara waktu bisa merupakan batu sandungan yang cukup "tajam" bagi Perum Perhutani.


Kemudian juga masalah sharing, yang sementara ini dilakukan dengan menggunakan dasar SK. 001/ Kpts/ Dir/ 2002, tampaknya juga "agak jumbuh" dengan adanya SK. 400/ Kpts/ Dir/ 2007. Mengapa demikian karena dalam SK. terbaru yang terkait dengan bentuk kerjasama (kalau tidak salah, pada pasal 4). Disana telah diatur kepada masing-masing pihak yang akan bekerjasama, akan dinilai "asset"-nya oleh lembaga independent terlebih dahulu. Kemudian barulah ditetapkan apakah akan memakai "sharing produksi atau keuntungan".


Bagi pelaksana di lapangan, tentu akan kebingungan, manakah yang akan dipergunakan sebagai dasar. Kalau mengikuti SK. 400, bagaimanakah dengan masyarakat. Apakah hanya akan dinilai dari asset SDM dan sarana kerja saja. Ataukah yang seperti apa.


Oleh karena itu, pentingnya Petunjuk Teknis dari setiap SK yang dikeluarkan oleh Direksi sebagai rambu-rambu bagi pelaksana.


Belum lagi dengan PP 2/ 2008 juncto PP 03/ 2008, yang berkaitan dengan "PNBP" (Penghasilan Negara Bukan Pajak), karte kawasan hutan kita di suatu provinsi luasnya kurang dari 30%. Pertanyaannya apakah daftar tarif yang dikenakan untuk operator selluler sudah meng-akomodir nilainya dengan nilai PNBP. Karena kalau belum, maka dana kita juga akan tersedot untuk setor kepada negara. Disamping kita punya hasil dari operator tersebut.




Salam.

Rabu, 08 April 2009

Tenaga Menengah Kehutanan


Baru-baru ini, pada tanggal 8 April 2009, PUSDIKLAT SDM Perum Perhutani telah "melahirkan" tenaga menengah bidang kehutanan, yang merupakan alumni pendidikan menengah kehutanan, yang telah ditempuh selama 3 (tiga) semester. Jumlah alumnus sebanyak 42 orang dari awalnya adalah 45 orang.

Salah satu kebijakan pimpinan perusahaan saat ini adalah "Perhutani Hijau 2010" dan PHL.

Untuk kedua kebijakan tersebut, artinya kita harus mampu mewujudkan hutan tanaman yang baik. Sehingga "kredibilitas" Perum Perhutani sebagai pengelola hutan di Pulau Jawa ini, tidak diragukan lagi oleh para "stakeholders-nya".

Pembangunan hutan tersebut tentunya memerlukan SDM untuk mampu mewujudkan disamping SD lainnya.

Kehadiran 42 orang lulusan PMK tersebut, akan menjadi salah satu alternatif yang dapat diberdayakan secara optimal. Tentunya setelah, melalui berbagai ujian di lapangan sebelumnya.

Harapan penulis kesenjangan SDM yang ada, paling tidak sudah terpenuhi meskipun belum mampu menjawab secara keseluruhan kebutuhan yang ada.

Sebagai salah satu yang menjadi bagian dalam mencetak PMK, khususnya dalam PMK VIII-X, sangat berharap agar teman-teman PMK selalu mampu meningkatkan kredibilitas dan buktikan bahwa Anda adalah alumni PMK, yang telah digembleng secara khusus.

Kedepan pendidikan PMK yang memerlukan biaya khusus dan sumber yang khusus, agar mampu dihasilkan alumni yang mampu memenuhi kebutuhan perusahaan. Tampaknya bahan baku-nya saya rasa sudah mulai menipis. Harapan penulis agar juga bahan bakunya benar-benar terseleksi dengan baik, terutama dalam hal IQ, EQ maupun AQ dan SQ-nya.

Karena 3 semester adalah waktu yang panjang dan ilmu yang disampaikan juga cukup berat, Sumberdaya manusia sebagai bahan baku dalam menjadikan seseorang mampu menjadi alumni PMK, harus benar-benar handal. Jangan sampai secara psikologis memiliki ketahanan stress yang rendah dan IQ<=80 masuk dalam kategori calon. Inilah yang nantinya juga merupakan salah satu "handicap" dalam pengembangannya, Sehingga persyaratan fisik dan psikologis harus benar-benar menjadikan sebuah persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Sebagai seorang "kader" tenaga menengah kehutanan tentunya dipelukan persyaratan fisik yang bagus.

Sehingga untuk PMK XI nanti, tampaknya perlu dilakukan kajian materi melalui TNA yang sudah disinkronisasikan CB-HRM yang akan dikembangkan kedepan. Terutama dengan peran dari tenaga menengah kehutanan, sehingga mampu menjawab tantangan jaman yang tentunya sudah berbeda dengan PMK sebelumnya.

Berkaitan dengan penjaringan sumber calon PMK, maka penulis menyarankan apabila PMK kedepan harus mengambil "source" dari laur yang bnar-benar prestisius, demi masa depan perusahaan kelak. Karena "source" dari dalam dengan usia yang masih muda dengan status pkwt sudahlah habis. Sehingga mau tidak mau dan tiada kata lain harus mencari "source" dari luar.

Kemudian kita menetapkan kriteria pesyaratan yang jelas dan disebarkan di sekolah umum mulai yang berada di desa sampai perkotaan. Setelah sebelumnya mnstandarisasi sekolah menengah yang akan menjadi sasaran dengan kerjasama dengan dinas pendidikan atau bahkan instansi yang lebih tinggi dan berwenang.

Hal ini sekaligus juga akan memacu pertumbuhan pendidikan yang merupakan salah satu tolok ukur dalam IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang masuk dalam PHBM Plus. Sekaligus juga akan meningkatkan nilai CSR (Corporate Social Responsibility) dari Perum Perhutani. Kondisi ini bisa berjalan dengan baik apabila hutan kita baik, sehingga pertumbuhannya juga akan signifikan. Sekali rengkuh dayung, maka 2 atau 3 pulau akan terlampaui. Citra perusahaan yang sementara ini diragukan, akan menjadi baik kembali. Alhamdulillah juga dengan masyarakat makmur juga karyawan menjadi makmur. Benar-benar hutan mampu sebagai penyangga kehidupan, dengan mampu menjadi sumber energi, sumber pangan dan menjadi wadah pengembangan usaha produktif masyarakat. Inilah yang akan kita tuju.

Kunci dari segala kunci yang ada adalah "mampu mebangun kembali hutan kita dengan baik".

Inilah yang harus dilakukan oleh manajemen kita terutama para alumni PMK. Janganlah Anda langsung merasa bangga dengan telah lulus dari PMK saja. Akan tetapi ujian yang sebenarnya adalah saat ini. Buktikan bahwa Anda layak menyandang "alumnus PMK". Peruisahaan menanti baktimu.

Jayalah PMK. Bawalah Perhutani-mu pada kejayaan.

Salam.


Kalau kita mendengar makalah, maka langsung terngiang dibenak kita tentang kewajiban membuat makalah sebagai salah satu syarat promosi karyawan, utamanya dari KASI ke Administratur dan seterusnya.
Pembuatan makalah untuk persyaratan promosi adalah hal yang wajar, karena untuk PNS pun diwajibkan membuat makalah sebagai persyaratan naik dari golongan III ke IV, demikian guru untuk memenuhi target "cum" dalam karirnya.
Sehingga apabila perusahaan mewajibkan seperti itu adalah hal yang wajar saja, karena situasi eksternal sudah berbeda dengan dahulu.
Hanya perlu ditambahkan, terutama untuk teman-teman yang akan dipromosikan di KBM dengan adanya "job tender". Artinya tidak hanya menulis makalah yang berkaitan dengan lingkup tugasnya dan penuangan "ide kreatif" dan hanya dibatasi dengan 3 hal, seperti : planet, people dan profit saja. Disamping adanya ketentuan penuangan dalam tulisan. Hal ini saya pandang penting, karena kita bisa mengatur dalam font dan spasi, seandainya hanya jumlah halaman saja. Yang terpenting adalah adanya "benang merah dalam tulisan tersebut. Akan tetapi lebih luwes dengan apa yang akan dilakukan setelah yang bersangkutan dipromosikan. Job tender pada perusahaan full bisnis dan BUMN, seperti TELKOM adalah hal yang sudah wajar. Demikian-pun penulisan makalah untuk PMK dan ke jenjang yang lebih tinggi, juga penulis ilhami dari "TELKOM Learning Centre" Bandung.
Ide itulah yang selanjutnya diimplementasikan untuk Perum Perhutani, diawali tahun 2002. Termasuk mengambil hikmah dari lembaga yang dahulu sering membidani kelahiran orang-orang unggulan TELKOM, yakni PT. Bumi Arasy Nur International, Jakarta. Karena lembaga ini tahun 2002 juga pernah bekerjasama dengan PUSDIKLAT SDM Perum Perhutani, kebetulan saat itu penulis sebagai "counterpart" dalam pelatihan SUSPIM-IV Perum Perhutani oleh lembaga tersebut.
Pembudayaan penulisan makalah di PUSDIKLAT SDM adalah sekaligus sebagai wujud kontribusi PUSDIKLAT SDM dala misi ke-2 yang baru, yakni membangun dan mengembangkan sumberdaya manusia perusahaan yang modern, profesional dan handal.
Sehingga dapat dikatakan untuk saat ini penulisan makalah dan presentasi menjadi "icon" dari PUSDIKLAT SDM Perum Perhutani semenjak tahun 2004 mulai dari PMK sampai jenjang pelatihan yang tertinggi, yakni KPP-II.
Dalam memenuhi misi yang ada, maka PUSDIKLAT SDM juga mengambil peran sebagai "kawah candradimuka" perusahaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa PUSDIKLAT SDM menjadikan penulisan makalah dan presentasi, tidak hanya dengan maksud "menyiksa" atau mempersulit proses pembelajaran yang ada.
Justru kita ingin mendukung perusahaan dalam menyikapi berbagai tantangan yang ada, termasuk kalau menurut hemat saya tidak hanya makalah akan tetapi juga ada semacam "job tender" melalui sebuah presentasi yang apik.
Jaman sudah berubah dan perubahan adalah hal yang harus kita ikuti dengan seksama.
Bahkan untuk teknis presentasi sudah dimulai semenjak DKP-I dan penyampaian informasi dengan memenuhi unsur K3AB (kejelasan, ketepatan, konteks, alur dan budaya) sudah dimulai semenjak kurus dasar demikian pula dengan mengenali kekurangan seseorang dalam berhubungan atau melakukan hubungan interpersonal melalui "Johari Windows". Utamanya penyampaian informasi sangat berkaitan dengan pengguliran "2 icon perusahaan", yakni PHBM dan PHL
Kebetulan saat ini, penulis sendiri yang memberikan mata pelajaran tersebut kepada siswa dari dasar sampai dengan KPP-II.
Sehingga tidak usah cemas, apabila pimpinan saat ini mempunyai kebijakan penulisan makalah sebagai salah satu persyaratan dalam penjenjangan karir.
Tidak hanya pengetahuan saja yang diberikan, bagaimana menyusun makalah yang baik mulai dari persyaratan; unity, koherensi, kohesi, diksi/ semantik, phrase/ tanda baca dan tata bahasanya. Akan tetapi juga ketrampilan dalam membuat makalah, dengan penekanan pada alasan mengapa judul diangkat, tinjauan pustaka (teori yang mendukung judul yang diangkat, metoda, pembahasan dan kesimpulan). Untuk teknik presentasi tidak sekedar wacana dalam teknik presentasi, seperti "I Can" yang merupakan tujuan sebuah presentasi dilakukan, dan "DISATE", AIDA, konsep YAM, dosa dalam presentasi, dan membangun hubungan baik dengan audience, melainkan bagaimana persiapannya, materi presentasi dikemas dan disampaikan. Disamping, keterampilan sebagai presenter bahkan, moderator dan notulis dalam sebuah paket presentasi termasuk kedalam pembuatan slide presentasi secara computerized dan pengenalan berbagai software pendukung presentasi, seperti SPSS, Smart Draw, power point viewer.
Selamat berkarya.

Jumat, 20 Maret 2009

Intrapreneur di Perum Perhutani


Mengapa dan apakah intrapreneur. Memang selama ini banyak kalangan yang hanya menyatakan wirausaha adalah entrepreneur. Pada awalnya entrepreneur hanya terbagi menjadi entrepreneur dan intrapreneur. Bedanya kalau intra dinyatakan sebagai orang yang memiliki semangat atau jiwa wirausaha, akan tetapi mengembangkan potensi dirinya pada sebuah perusahaan yang telah mapan. Kalau entrepreneur pada sebuah perusahaan yang masih terus berkembang dan menjadi miliknya sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kemudian muncul technopreneur yang bisa dilakukan oleh intra ataupun entrepreneur dan entrepreneur sendiri mengalami metamorfosa antara lain menjadi co-preneur.

Dalam rangka memberdayakan potensi perusahaan "untuk menjamin pertumbuhan perusahaan" sebagaimana misi pertama kita saat ini, maka sangat diperlukan SDM yang memiliki semangat atau jiwa wirausaha yang memiliki sikap luhur sebagaimana dalam orientasi sistem nilai kewirausahaan, dengan cirinya yang akrab dengan iptek, kreatif dan inovatif, memiliki sikap yang positif dan bahkan etos kerja unggul dan mentalitas profesional, melembagakan proses pembelajaran, merupakan sumberdaya manusia yang tergolong "climber", dan mampu memberikan pelayanan yang "sepenuh hati", baik kepada lingkungan internal dan eksternal.

Sumberdaya manusia-lah sebagai titik awal dari perjalanan perusahaan untuk membangun kembali atau memperbaiki kondisi perusahaan, baik memperbaiki kredibilitas, integritas perusahaan saat ini.

Setelah pondasi ini dipatok barulah meningkat kepada pemberdayaan potensi sumberdaya hutan dan sumberdaya lainnya. Pembangunan sumberdaya manusia dengan menanamkan "sucsesstory" dari wirausahawan lain yang sukses kepada sumberdaya manusia perusahaan.

Sumberdaya manusia hutan kita cukup berlimpah, misalnya dengan mengembangkan "JPP" secara baik dan benar sesuai dengan kaidah "panca usahatani" serta dilakukan secara "intensif dalam monev". Mengapa JPP, karena "core business"kita adalah itu. Disamping juga menggenjot potensi sumberdaya hutan lain, seperti hasil hutan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan dan bahkan membangun kerjasama sebagaimana dituangkan dalam SK 400/ Kpts/ Dir/ 2007 dengan mengembangkan agroforestry atau mengembangkan sharing input dalam pembangunan hutan tanaman. Lahan kita masih banyak yang belum lunas reboisasi dan keberhasilan hutan tanaman juga merupakan salah satu sasaran kita dalam "Perhutani Hijau 2010" terutama untuk kawasan kelas perusahaan non-jati. Sedangkan pengembangan JPP tidak bisa ditawar lagi. Karena inilah salah satu solusi dalam membawa kejayaan perusahaan kita mendatang termasuk dalam memberikan kontribusi kepada wilayah yang merupakan wujud keberadaan Perum Perhutani dalam bentuk "CSR" (Corporate Social Responsibility perusahaan) maupun peningkatan pertumbuhan perusahaan dan kesejahteraan karyawannya.

Demikian juga sesuai dengan pasal 4 SK 400/ 2007, mengembangkan wisata secara profesional melalui kerjasama secara BOT (Build Operation and Transfer), untuk mampu mendapatkan penghasilan sektor ekowisata. Karena beberapa lokasi wisata kita masih memerlukan pembenahan untuk dapat dijual untuk mampu memenuhi harapan, kebutuhan dan keinginan dari konsumen serta memperbaiki pelayanannya. Pengembanganusaha lain berbasis kehutanan , seperti porang, nilam, jahe yang sudah jelas pasarnya, yang ditangani secara profesional.

Penanaman semangat intrapreneur kepada jajaran Perum Perhutani, tentu akan dapat meningkatkan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang, jangan hanya pertumbuhan sesaat. Sehingga perusahaan harus mengembangkan strategi diferensiasi dan diversifikasi produk-nya. Pengembangan upaya tersebut tentu tidak akan sia-sia asal sudah menjadi komitmen manajemen perusahaan.

Salam intrapreneur Perum Perhutani.

Jumat, 06 Februari 2009

Tinjauan Visi dan Misi dan pendukung-nya


Sebagai pengajar yang berkaitan dengan kompetensi dari siswa, saat ini saya merasa bingung. Kebingungan saya berawal dari visi dan misi mana yang akan dipakai karena secara "yuridis formal" yang lama masih berlaku. Akan tetapi di kalender 2009 visi dan misi sudah dipasang. Kalau misi tampaknya masih berkutat dari tang itu juga. Akan tetapi dalam visi terjadi perubahan yang cenderung mengarah "konservatif" kembali kepada konggres kehutanan tahun 1972. Padahal lingkungan kita telah berubah sedemikian pesat. Demikian juga dengan SK struktur organisasi yang akan mendukung tercapainya visi tersebut juga tampak belum "jelas". Apakah kita sudah akan meninggalkan SK 301 dan otomatis tanpa dasar yang kuat langsung menggunakan struktur organisasi yang baru. Kalau jawabannya "iya" maka apakah sudah selaras dan terjadi harmonisasi dengan SK. Pola karir kita (SK 987/ 2007). Bukan saya "anti perubahan" karena yang kekal adalah "perubahan". Akan tetapi marilah dikaji secara seksama terlebih dahulu. Disinilah "kematangan emosi" dituntut kepada kita semua.

Marilah kita "stratifikasi" kawasan hutan kita, sehingga dapat mendukung tercapainya visi dengan konkret.

Tuntutan global untuk mampu mewujudkan hutan yang baik demi k dan tuntutan lain untuk menyangga kehidupan masyarakat.

Inilah "pe-er" bagi teman-teman planner di Perum Perhutani. Dengan terwujudnya rencana pengelolaan (RPKH) yang holistik akan memudahkan kita dalam "menjabarkannya" kepada "RKL, RTT) secara "SMART".

Keberhasilan Perum Perhutani melangkah tergantung pada kita semuanya.

Jayalah Perhutani

Training berbasis kompetensi



Wah, merupakan hal yang menarik dan menantang. Tapi apakah kita sudah siap melaksanakannya. Paling tidak kita sudah harus punya standar kompetensi yang seharusnya untuk setiap jenjang jabatan dan merubah paradigma dalam penangan SDM kita. Harusnya istilah “personalia” sudah harus sejak lama dirombak dulu. Karena apabila masih dengan paradigma lama, maka cara penanganannya ya masih begitu-begitu saja.
Never mind. Marilah kita semangat dengan prinsip 3N dan 3M. Prinsip 3N menyatakan bahwa kita harus mau mengamati perkembangan atau sesuatu yang baru dengan seksama, mencoba menerapkan inovasi baru ditempat kita dan menyesuaikannya sesuai dengan kharakteristiknya. Kemudia 3M menyatakan, mulailah dari hal yang kecil, janganlah bicara soal orang lain akan tetapi mulailah dari diri kita sendiri (dengan niat yang mulia), dan kapan lagi akan dimulai kalau tidak dari sekarang meskipun itu terlambat daripada mengalami “stagnan” atau sengaja membuat “status quo”.
Saat ini hampir disemua perusahaan besar telah menerapkan CB-HRM (Competency Based-Human Resource Management) dalam menangani SDM perusahaan. Marilah kita semua belajar, bagaimana menyusun dan mengukur standar dan tingkat kompetensi dari SDM di berbagai level. Mengapa demikian, agar training yang dilakukan dapat tepat sasaran dan tepatguna. Selaras dengan visi dan tujuan perusahaan (holding company).
Untuk dapat melakukan itu, maka penulis rasa perlu ada beberapa tahapan yang harus dilalui, antara lain :

Melakukan perubahan dalam penanganan SDM. Tidak sekedar melihatnya dari kacamata personalia, akan tetapi harus melihatnya dari sisi SDM secara holistik. Maksudnya potensi dan kemungkinan pengembangannya dari setiap individu SDM.
Menyusun standar kompetensi untuk setiap pekerjaan dan level jabatan secara jelas dan terukur.
Menyempurnakan SDM yang menempati posisi di bidang HRD.
Menyusun database SDM yang ada saat ini.
Melengkapi setiap HRD unit (paling tidak) dengan tenaga psikolog. Apabila belum ada, maka dapat mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan “outsourcing” untuk sementara waktu.
Menetapkan bentuk reward and punishment individu maupun sebagai tim. Hal ini untuk merubah memicu motivasi dari sisi eksternal yang merubahnya kepada motivasi internal.
Menyusun kurikulum dan silabus untuk materi pelatihannya, sesuai dengan standar kompetensi yang seharusnya yang telah disesuaikan pula dengan kebutuhan situasi.
Merubah cara pembelsjsrsnnys, ysng bensr-bensr mengadopsi pembelajaran orang dewasa, bukan lagi “pedagogy”
Menata kembali lay-out kelas untuk pembelajaran dan jumlah peserta setiap kelas, agar intensitas pembelajaran optimal.
Mempersiapkan sarana pembelajaran sesuai dengan model pembelajaran orang dewasa. Karena paling tidak, setiap orang sudah memiliki pengalaman dan usia tidak bisa dipungkiri akan sangat nantinya menentukan sukses pembelajaran itu sendiri.
Menetapkan moto dan tujuan setiap kursus atau pelatihan.

Darimana diperolehnya kemampaun menyusun standar kompetensinya, dari melakukan studi banding, pelatihan tim yang ditunjuk, membayar pendamping, menyerahkan kepada ahlinya atau bahkan yang lainnya.
Banyak jalan menuju ke Roma. Semuanya tinggal tergantung niat kita untuk berubah dan menyikapi setiap perubahan jaman itu sendiri. Langkah-langkah itu harus segera kita lakukan, jika tidak ingin tertinggal kereta yang melaju dengan kencang. Bahkan nantinya akan merugikan perusahaan dan akhirnya perusahaan kita yang akan hilang dari percaturan bisnis. Tenggelam oleh yang lain karena tidak mau mengikuti perubahan yang ada. Karena didunia ini, yang kekal adalah perubahan.
Marilah kita bersatu untuk mengawali perubahan ini. Meskipun sekarang juga waktunya “kampanye”. Tapi marilah kita fokus dengan yang menjadi pijakan kita saat ini.
Selamat melakukan perubahan.

Kamis, 22 Januari 2009

Pentingnya TNA



TNA merupakan kependekan dari Training Need Analysis (Analisa Kebutuhan Pelatihan). Dalam menyusun kurikulum dan silabus di sebuah DIKLAT, maka TNA harus benar-benar dilakukan dengan baik. Misalnya untuk suatu materi dasar komunikasi, maka harus dinalisa kebutuhan seorang mandor dalam hal komunikasi di lapangan dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam menggulirkan program PHBM dan PHL. Sehingga nantinya materi yang diperlukan dapat diberikan dengan jelas dan sampai seberapa kedalamannya. Sehingga alokasi jam pembelajaran (JP) dan SPAP (Satuan Pokok Acara Pembelajaran) bisa disusun dengan baik, sesuai dengan alokasi waktu yang dibutuhkan.


Mengapa penulis mengangkat hal ini, karenan ketepatan dalam keberhasilan pembelajaran berikut simulasi lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa, sangat ditentukan juga oleh akurasi dalam kurikulum dan silabus-nya.


Hal ini pernah penulis mengalami saat melaksanakan kegiatan outbound untuk suatu perusahaan (x), dengan pelaksanaan TNA/ AKP secara kurang akurat. Konsekuensinya adalah pada simulasi dan sequence yang ada. Disamping akurasi dalam hal TNA/ AKP, maka juga harus diketahui secara pasti visi, misi dan budaya kerja serta sasaran yang akan dicapai melalui outbound tersebut. Hal ini kalau tidak ditangani secara serius, maka akan menimbulkan bias pada hasil yang akan dicapai.


Bagaimana dengan PUSDIKLAT SDM, menurut penulis perlu adanya komitmen yang jelas, kita akan mengembangkan potensi SDM/ SDI yang ada atau hanya memilih SDM yang memiliki kompetensi aktual saja. Kalauu demikian yang tidak memenuhi kriteria standar yang telah ditetapkan. Karena tergolong SDM yang "rejected", tidak memiliki potensi standar untuk dikembangkan, bisa dari IQ yang berada <= 80 ataukah standar kualitas lainnya. Tentunya perlu dirumuskan terlebih dahulu.


Kalau kita akan konsisten melakukan pengembangan potensi SDM, maka selayaknya harus dilakukan secara totalitas. Artinya seorang fasilitator harus mendampingi sampai SDM tersebut bisa, baik dari sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Sehingga nantinya mereka menjadi SDM profesional sebagaimana pernyataan misi keempat perusahaan, yakni membangun sumberdaya manusia perusahaan yang bersih, berwibawa dan profesional. Komitmen tentang hal ini yang juga harus jelas, disamping dengan kurikulum dan silabusnya.


Sebagai "lokomotif" perusahaan, maka PUSDIKLAT SDM Perum Perhutani harus memiliki kejelasan dalam hal pengembangan SDM perusahaan. Sehingga hasil yang akan dipetik juga menjadi jelas pula.


Demikianlah sumbangsaran dari penulis untuk Perum Perhutani tercinta.




Selamat berjuang, untuk kejayaan perusahaan.








Perlunya pelayanan prima


Pemerintah melalui SK. No. 63/ M.PAN/ 7/ 2003 tentang prinsip dalam memberikan pelayanan untuk organisasi pemerintah termasuk BUMN-nya, yang akan menjadi Undang-undang dan saat ini sedang diproses untuk RUU-nya. Bahkan melalui SK tahun 2004 juga memberikan cara melakukan evaluasi dalam memberikan pelayanan.
Apabila setiap organisasi pemerintah sudah dihimbau untuk melakukan pelayanan yang baik kepada publik – masyarakat , maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pelayanan yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani yang notabene juga sebuah BUMN, baik terhadap produk (barang dan jasa) yang dihasilkan?
Infrastruktur untuk memberikan pelayanan kepada publik juga telah dibangun untuk menunjang e-government sebagai salah satu wujud penerapan dari GCG (Good Corporate Governance), yakni yang dikenal dengan “JIEMI” (Jaringan Infrastruktur Elektronika Masyarakat Indonesia) dan saat ini di masing-masing PEMDA juga telah ada jarigan tersebut (e-government).
Sebagai BUMN, pelayanan prima harus dilakukan karena orientasi BUMN selain sebagai agen perubahan yang wajib melayani masyarakat juga mencari keuntungan melalui kontribusi dari DPS -nya (Dana Pembangunan Semesta).
Pelayanan prima di bidang produk (kayu, non-kayu, dan usaha lain) diukur melalui performansi, kehandalan, kemudahan dalam penggunaannya, sedangkan untuk jasa diukur melalui SERV-Qual atau dengan TERRA (tangible, empathy, responsiveness, reliability, dan assurance) sebagai dasar dari memberikan pelayanan dalam manajemen mutu terpadu atau yang dikenal dengan TQM (total quality management).

Penulis ingin menyoroti penempatan SDM sesuai dengan karakternya. Karena berdasarkan personality plus, terdapat berbagai 4 tipe kepribadian, yakni sanguinis, kholeris, melankolis,dan phlegmatis. Tipe-tipe tersebut memiliki pengaruh terhadap citra positif/negatif untuk karyawan terutama yang ditempatkan di bagian front liner, meskipun sebenarnya pelayanan prima merupakan hasil dari sebuah kerjasama dari seluruh bagian. Karenanya, penempatan SDM di front liner perlu dilakukan secara jeli, demikian pula dengan penempatan SDM di kehumasan dan pemasaran.

Pelayanan prima ini tidak saja dilakukan terhadap konsumen eksternal, akan tetapi juga untuk lingkungan internal. Hal ini juga tidak terlepas dari 2 dimensi yang akan disorot konsumen eksternal, yakni dimensi prosedural dan dimensi pribadi. Dimensi prosedural, merupakan pencerminan dari process business termasuk komunikasi dalam melakukan process business tersebut, dimensi pribadi sangatlah terkait dengan pribadi sumberdaya manusianya. Refleksi dari hubungan konsumen internal merupakan protret yang akan dilirik oleh konsumen eksternal.

Mengapa penulis sangat tertarik untuk berbicara tentang pelayanan/ pelayanan prima karena ini sebagai penentu dari loyalitas pelanggan. Mengingat saat ini, yang dibeli kosumen tidak hanya produk akan tetapi juga pelayanannya. Meskipun produknya berkualitas, akan tetapi jika pelayanan dalam menyampaikan produk kepada konsumen, dalam kaitannya untuk memenuhi harapan, kebutuhan dan keinginan konsumen.

Sehingga disamping yang bertugas di jajaran KBM, maka disampaikan juga untuk yang bertugas di front liner, misalnya di KPH. Petugas ”front liner” bukan saja yang berada di front desk officer (FDO) akan tetapi termasuk petugas customer service dan SATPAM

Sabtu, 17 Januari 2009

Oh, wisataku yang malang




Ini saya maksudkan agar bisa menggugah pengelola yang lain. Bahwa dalam bisnis, untuk saat ini maka kita harusn mampu mengadopsi harapan, kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Sebagai suatu gambaran, saya angkat contoh untuk pondok wisata puspa. Memang kalau ditilik dari namanya adalah pondok wisata. Akan tetapi terkait dengan keberadaannya, maka marilah kita toleh untuk bangunan (site-B, 1967) atau bangunan asli dari (dahulu wisma Puspa).
Disamping kamar (kurang lebih ada 7 kamar, dengan 5 kamar terletak didalam) dan 2 kamar di luar, kamar mandi umum, dapur, mushola, dan recepcionist.
Secara umum tampaknya sekilas sudah layak dijual. Akan tetapi menurut penulis belum optimal jika mau dijual. Mengapa demikian. Karena dibagian depan pondok sering tampak adanya "hal yang kurang pantas untuk ada". Disamping ruangan recepsionis yang kurang representative, demikian dengan pengaturan taman yang masih kurang asri untuk sebuah pondok wisata.
Untuk ruangan utama, sebenarnya masih ada yang dapat dioptimalkan untuk dijual, dengan mengingat harapan ataupun kondisi pengunjung. Utamanya pengunjung adalah perorangan bukanlah keluarga besar. Sehingga fungsi dari ruang kamar dan hall haruslah dilakukan penyekatan. Kecuali jika segmen penunjung kita adalah seperti itu, akan tetapi juga ada konsekuensinya, yakni akan jarang ditoleh oleh tamu (pengunjung). Untuk dapat layak jual dengan kondisi saat ini, tampaknya harus direnovasi dahulu, dengan menutup pintu keluar kamar ke hall dan memindahkannya ke bagian luar. Sekaligus membuat teras (kalau ada biaya) akan tetapi jika tidak ada, maka cukup dengan membuat teras sederhana saja. Kemudian hall, yang bebas gangguan juga dapat kita manfaatkan untuk ruang rapat berikut dilengkapi sarana penunjangnya, sepeti audio system, lcd projector, desktop, whiteboard, papan flip. Sehingga sangat available sebagai ruangan rapat. Karena selama ini banyak acara rapat yang ingin mengadakan disana akhirnya pindah ke tempat lain, dengan keterbatasan dana. Pondok wisata puspa termasuk salah satu tempat dengan pemandangan yang paling indah dibanding lainnya. Peluang ini yang kita harus tangkap. Bahkan dengan sedikit mengepras teras dekat recepcionist untuk menambah keluasan tempat parkir. Impian penulis kedepan setelah yang sekarang jalan, maka tempat parkir dibuat dibagian bawah tanah, dengan konstruksi yang "oke", karena merupakan daerah yang labil. Kemudian kita juga menyediakan paket wisata kepada pengunjung. Karena disekitar lokasi ada camping ground, air terjun, wisata telaga (Pemda), kebuh teh, trail antara pondok wisata ke Mojosemi yang lumayan bagus dengan panorama kebuh teh (sebagai jogging treck) dengan sedikit polesan. Kemudian mendadani sedikit untuk penempatan lampu di lokasi, pemusnahan gudang, pembersihan lokasi sekitar dari barang yang kurang berguna, bekisting dan penebangan beberapa pohon yang mengancam "keamanan" pengunjung (mengingat daerah ini juga sering dilanda angin ribut), memindahkan kantor dan warung sekitar pondok ke tempat lain yang masih merupakan kawasan kita (tentunya sedikit harus disertai dengan BAP perubahan kelas hutan dari total pangkuan pondok wisata sebagai ldti). Dengan melakukan semacam ini menurut penulis, maka akan menanbah daya tarik pengunjung, baik untuk blok A (2001) , B (1967), dan C (2003). Kemudian perbarbaikan jalan yang menghubungkan 3 lokasi bangunan dan bahkan ditambah dengan selasar sederhana. Lahan bekas kantor koordinator wilayah dan warung sederhana (yang berada di tanah kita), bahkan bisa dijadikan sebagai tempat parkir. Dengan tempat parkir lega dan aman, maka akan menjadikan daya tarik tersendiri. Untuk sementara sebagai wahana magang petugas bisa dilakukan kontrak dengan pihak III yang kompeten dibidangnya selama 2 tahun (dengan target penghasilan Rp. 70 - 75 juta/ tahun, berdasarka trend 3 tahun terakhir). Saat ini penghasilan (2006) Rp 64,5 juta), (2007) Rp. 46,5 dan (2008) Rp 53,4 juta. Sambilnantinya kita mencari investor untuk melakukan kerjasama secara BOT. Dengan memberikan investor kesempatan berusaha selama beberapa tahun (?) dengan memberikan fee selama kerjasama kepada Perum Perhutani.
Mengapa penulis terusik, karena kebetulan penulis sering menggunakan tempat tersebut, baik untuk kepentingan praktek Pusdiklat SDM (pelayanan prima, kewirausahaan dan agribisnis) disamping saat sebagai instruktur eksternal. Penulis selalu berusaha menawarkan kepada pengunjung potensial yang ada. Akan tetapi sulit untukmenjadi penginjung aktual. Karena masalah dana. Kalau akan menyewa hall saja, relatif harus menyewa kamar agar tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi kendalanya. Pondok wisata Puspa memiliki potensi yang sangat cerah dimasa depan. Belum lagi warna cat yang umumnya aga gelap dengan penerangan kamar yang terbatas juga serta tangkapan siaran TV yang sangat terbatas, sulitnya air hangat dan makan, lambatnya pelayanan (dengan keterbatasan jumlah petugas), tidak adanya aiphone yang menghubungkan antar kamar dan recepcionist.
Mudah-mudahan dengan cara ini, maka pengembangan pondok wisata puspa tidak menyalahi aturan yang ada, baik P.43, P.50, PP 06/ 2007 dan SK. 400/ 2007.
Marilah kita berdayakan potensi yang ada secara optimal dalam rangka meningkatkan pendapatan perusahaan kita tercinta ini. Semoga penuangan impian ini bermanfaat.
Bravo rekan-rekan KBM-WBU unit II dan lainnya.


Salam,


Gandrie S

Senin, 12 Januari 2009

Pengembangan Wisata di Perum Perhutani

Wisata di Perum Perhutani, terkadang kita sendiri merasa bingung. Apakah suatu bisnis atau hanya sekedar suatu ”show” saja. Mengapa penulis katakan demikian. Tentunya ada beberapa hal yang mendasari, antara lain :

Pengelolaan dilakukan seadanya
Strategi pengembangan tidak jelas
Kompetensi petugas masih kurang
Komitmen manajemen kurang tegas
Penerapan ”RRC” (reward, recognizition, and celebration)
”Era otoda”
Job tender bagi pimpinan SBU di KBM tersebut
Pemberdayaan petugas tidak jelas

Seharusnya jika akan kita angkat wisata sebagai salah satu ”diversifikasi produk” perusahaan, maka tentunya haruslah kita tangani secara serius. Memang tidak bisa dipungkiri core business kita adalah kayu. Demikian pula dengan kompetensi petugas lapangan yang kebanyakan masih didominasi bidang kehutanan, yang tentunya terdapat kharakteristik khusus untuk mampu menangani bisnis dengan baik. Paling tidak dengan sentuhan pelayanan prima. Bagaimana kepedulian petugas terhadap para pengunjungnya. Disamping kompetensi, kelincahan gerak, dan disiplin petugas tersebut. Siapkah kita dengan ini semua. Jawabannya ada pada diri kita sebagai sumberdaya manusia perusahaan dan komitmen manajemen itu sendiri.

Untuk wisata, penulis melihat kesiapan Jawa Barat dan Banten tampak lebih oke. Bagaimana pelayanan prima dilakukan untuk menggaet minat pengunjungnya. Kebiasaan kita dalam mengelola wisata hanyalah menjual potensi wisata yang ada dengan ala kadarnya. Akan tetapi Jawa Barat dan Banten telah mampu memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan pengunjung dengan menyajikan atraksi lainnya yang benar-benar diperlukan. Misalnya dengan menyediakan kendaraan ATV (All Talent Vehicle), menggabungkan outbound dengan wisata yang ada. Mengapa Jawa Barat dan Banten lebih siap, karena kondisi alam yang menuntut mereka untuk melakukan sesuatu. Beda dengan Unit lain yang memang potensi kayu masih ada, akan tetapi alam parahiangan memaksa pengelola harus mampu mencari penghasilan diluar kayu, dan hail ini sudah berlangsung lama. Dimana Jawa Barat dan Banten dengan pesona alam yang indah dan tanah yang relatif subur, lebih cocok dikembangkan untuk agribisnis tanaman pertanian dan wisata. Kharaketristik wilayah inilah yang menurut penulis memberdakan Unit III dengan Unit lainnya.

Kemudian kita berbicara kembali tentang komitmen manajemen. Tentunya tidak hanya dipasok dengan target penghasilan saja. Akan tetapi harus didukung dengan pengembangan SARPRA, kerjasama usaha yang dimungkinkan. Mengapa demikain karena dalam SK 400/ Kpts/ Dir/ 2007 berbagai bentuk kerjasama yang dapat dilakukan masih ngambang serta diperlukan adanya otonomi dari seorang pimpinan, misalnya GM. Ngambangnya SK 400 tersebut adalah dalam bentuk kerjasama, disamping keterkaitan dengan fungsi kawasan. Karena wisata kita banyak terdapat dalam kawasan hutan.

Berkaitan dengan kompetensi petugas. Kita harus menempatkan sumberdaya manusia yang kita miliki dan berbasis wisata di tempat yang seharusnya. Dimana nantinya mereka dapat diharapkan sebagai ”change agent” teman-teman kita yang berbasis teknis kehutanan. Kompetensi ini sangat penting karena domain wisata sangatlah berbeda dengan pekerjaan teknis kehutanan dan sudah berbau bisnis.

Pengadaan ”Job Tender” untuk setiap pimpinan pengelola wisata haruslah mulai dirintis. Karena kita berbicara bisnis. Bukan sekedar wisata sebagai beban perusahaan atau ”cost centre”.
Dengan dilaksanakannya job tender tersebut, maka kita bisa tahu visi dan rencana penanganan wisata yang diembannya.

Strategi pengembangan wisata. Harus jelas segmentasinya dan siapa yang akan menangani wisata perusahaan. Apakah anak perusahaaan ataukah swakelola perusahaan dengan KBM-WBU. Karena dengan adanya organisasi yang berbeda dalam satu atap akan menimbulkan konflik, yang dapat bersumber dari bermacam-macam hal. Sebagai misal suatu wisata pondok hanya ditangani oleh satu orang petugas. Tentu hal ini adalah sesuatu yang ganjil bagi penulis. Sehingga organisasi wisata ini harus jelas, termasuk job describtion-nya.

Menyikapi OTODA ini juiga merupakan hal penting. Karena dengan adanya OTODA dimana sementara ini dipandang oleh PEMDA bahwa penangan wisata di Perum Perhutani dilakukan setengah hati, maka tidak akan tertutup kemungkinan, untuk mengambil alih wisata tersebut. Belum lagi dengan adanya re-scoring dlsb-nya yang penulis pandang dapat menjadikan ancaman bagi kita jika strategi yang kita jalankan juga tidak jelas. Apabila jelas, maka semenjak awal adanya wisata maka pengelola akan melakukan komunikasi trespektif dengan setiap PEMDA dimana wisata berada.

Pengelolaan yang dilakukan seadanya. Citra ini haruslah kita rubah. Apabila ini berlangsung secara permanen, maka konsumen kita tentu akan kabur. Karena bagaimanapun seorang pembeli atau pengunjung disebuah wisata adalah ”raja”, tanpa memandang mereka adalah siapa.

Pemberian RRC. Hal ini bukan terus penulis mengumbar janji kepada petugas, karena hal ini apabila diperuntukkan perorangan, maka dalam jangka panjang juga akan membahayakan. Karena mereka akan selalu mengharap imbalan. Sehingga kita lambat laun harus merubahnya menjadi ”bagaimana menggugah” motivasi internal sumberdaya manusia melalui pemberdayaan dan transparansi kebijakan.
Hal itulah yang penulis rasa, bagaimana kita bisa menjadikan wisata bukan hanya mampu meraup ≥2-3% dari total pendapatan perusahaan/ tahun. Akan tetapi juga mampu merubah citra bahwasannya wisata kita sekarang sudah ”mrungsungi” menjadi primadona selain kayu di Perum Perhutani tercinta kita.
Sukses untuk team wisata Perum Perhutani. Semangat terus dan jadikan wisata primadona kita.