Saat ini kita sedang gencar membicarakan tentang unit bisnis stratejik (UBS). Sebenarnya apakah yang dimaksudkan dengan unit bisnis stratejik tersebut atau yag biasa disebut dengan bisnis kunci dalam sebuah perusahaan. Menurut Menurut Kotler dan Amstrong dalam principles of marketing (1991), yang dinamakan dengan UBS adalah suatu unit dalam perusahaan yang mempunyai misi dan sasaran tersendiri serta yang dapat direncanakan secara mandiri terhadap bisnis-bisnis perusahaan yang ada. UBS dapat saja merupakan sebuah divisi dari perusahaan, suatu lini produk dalam divisi tertentu, akan tetapi terkadang juga bisa cerminan dari sebuah produk tunggal.
Lha sekarang tinggal kebijakan manajemen, UBS yang seperti apa yang akan dikembangkan di Perum Perhutani. Karena seperti telah disampaikan bahwa UBS sebenarnya ya merupakan bisnis kunci dalam sebuah perusahaan.
Tentunya untuk melangkah sampai kepada bisnis kunci, maka analisa potfolio bisnis perusahaan dengan menggunakan pendekatan The Boston Consulting Group (BCG) ataupun dengan General Electric (GE).
Yang pertama harus kita pilih, apakah UBS tersebut akan dikembangkan menjadi sebuah bisnis kunci perusahaan ataukah divisi. Kalau penulis mencoba untuk menggambarkan, bahwa dengan struktur organisasi baru yang terdapat, baik di kantor pusat ataupun didaerah, maka tampaknya UBS tersebut lebih sesusai berada dibawah deputy direktur pengembangan stratejik. Mengapa demikian, karena dari bagian perusahaan yang secara khusus menangani hal-hal yang bersifat strategis. Kedaerah tentunya juga harus ada penerusnya. Sehingga tidak berhenti ditengah jalan. Menurut hemat penulis, lebih mengarah kepada KBM. Sedangkan KBM mana yang lebih berperan maka tentu harus kita analisa melalui portfolio bisnis terlebih dahulu. Diantara bisnis yang sementara ini kita kembangkan, kita kelompokkan kedalam The BCG Growth Share Matrix, yang mana sumbu vertikalnya lebih kepada daya tarik pasar atautingkat pertumbuhan pasar dan horizontal sebagai kekuatan posisi UBS dalam pasar yang lebih mengarah kepada pangsa pasar. Menurut penulis, maka perlu dikelompokkan terlebih dahulu manakah diantara bisnis perusahaan yang benar benar merupakan bisnis kunci.
Setelah itu, barulah kita kelompokkan dengan menggunakan The BCG growth share matrix. Mana bisnis perusahaan yang masuk kedalam kelompok star, artinya yang punya potensi berkembang pada masa mendatang tentunya pada saat ini memerlukan modal kerja dan investasi yang cukup tinggi. Manakah bisnis yang merupakan tanda tanya bagi perusahaan saat ini. Tanda tanya dalam 2 hal, yakni kedepan apabila dikembangkan memiliki prospek baik ataukah bisnis tersebut kedepan justru perlu dipangkas karena tidak prospektif. Berdasarkan pengamatan penulis, maka yang termasuk kedalam tanda tanya positif (prospektif) adalah perbenihan, pemasaran logs FGS (Jabon, Pulai, Suren, Sengon, Balsa, dll) dan mahoni, minyak atsiri dan minyak kayu putih, pemasaran rotan setengah jadi, pemasaran madu. Sedangkan yang kedepan perlu dipertimbangkan untuk dipangkas produk S4S, flooring, pemasaran seedlak, produk AMDK Perhutani. Kemudian berdasarkan kondisi yang ada, maka sesuai dengan perkembangan jaman juga, bisnis yang termasuk kedalam kategori star adalah indutri pariwisata (ecotourism) karena pada waktunya manusia akan "back to nature", industri furniture dan industri derivat dari gondorukem dan terpentin, usaha lain. Sedangkan bisnis yang merupakan "cash cow" perusahaan adalah pemasaran kayu jati dan rimba (jangka menengah dan jangka pendek). Pertanyaannnya mengapa penulis megatakan kedepan kita lebih mengarah kepada FGS terutama pengembangan hutan rakyat yang memiliki peran ganda, yakni sebagai life support system dan ekonomi yang ramah sosial. Karena jika Perum Perhutaniterus mengembangkan jati genjah, maka resiko yang terjadi akan selalu terjadi konflik dengan masyarakat, utamanya konflik tenurial. Padahal salah satu prinsip PHL harus menjauhi dan bahkan menghindari terjadinya konflik tenurial, khususnya tanah sebagai lahan garapan. Karena masyarakat desa wengkon kita hanya sebagai petani gurem dan akan sering terjadi kegagalan tanaman karena faktor kultural.
Itulah sekedar gambaran singkat dalam rangka pengembangan UBS. Hanya yang perlu ditekankan oleh penulis, bahwa UBS cenderung lebih terkait dengan profit centre bukan cost centre. Sesuai dengan hal tersebut, agar tidak terjadi kerancauan lebih baik ditangani KBM. Sedangkan KPH dan SPH tetap fokus kepada cost centre. Mengapa demikian karena tugas KPH adalah mampu membangun hutan lestari dan SPH mampu melakukan penataan hutan secara baik. Sedangkan KBM harus tetap terfokus untuk menjadi profit centre jangka pendek dan panjang.
Selamat menyikapi perubahan paradigma dalam bisnis perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar