Minggu, 23 Agustus 2009

Perlunya Kejelasan Aturan Dalam Pengembangan Usaha


Pengembangan usaha saat ini lagi giat-giatnya dilakukan perusahaan. Dalam rangka memenuhi kesenjangan yang terjadi. Hanya agar pelaksanaannya tidak simpang siur, maka perlu diterbitkan juklak dan juknis yang konkrit dalam konteks optimalisasi asset dan pengembangan potensi sumberdaya alam perusahaan.

1. Sebagai suatu misal dibidang optimalisasi asset.

Suatu tanah perusahaan yang akan dikembangkan menjadi sesuatu bangunan tertentu.

Maka secara yuridis formal, karena akan diusahakan untuk menghasilkan pendapatan, maka harus mengacu kerujuk kepada UU 19/ 2003 dan juga SE Menteri Keuangan Tahun 1989 (no lupa). Kemudian berapa batasan nilai yang harus dilaporkan Direksi, Dewan Pengawas dan akhirnya Meneg BUMNsampai kepada Meneg BUMN.

Sesuai dengan ketentuan tapak dan tata kota maka harus dilakukan penilaian "Highest and best use (HBU)" yag juga harus merefers juga kepada Pweraturan Menteri PU No 5/ PRT/ 2008 tentang Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan (kaitannya juga dengan HBU).

Barulah lokasi tersebut dapat dikerjasamakan dengan salah satu bentuk kerjasama, seperti BOT, BTO atau yang lainnya. Disamping perlu adanya kejelasan pengaturan fee, dalam kerjasama pembangunan jangka panjang seperti BOT, BTO (perlu adanya juknis).

Juga dalam batasan nilai berapa yang harus ijin dari direksi atau bahkan dewan pengawas serta Meneg BUMN.

Kejelasan dalam hal itu, tentu akan membantu teman-teman Administratur dalam melaksanakan tugasnya untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dengan mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh perusahaan. Atau yang dilakukan oleh unit usaha yang berorientasi profit centre setelah sekarang ada UBS.

2. Dibidang pengembangan potensi SDA

Kejelasan perijinan, terutama jika untuk kegiatan diluar kehutanan. Hal ini menggelitik penulis karena untuk mengamankan pengembangan "mina-wana, agro-forestry".

Semisal pengembangan tanaman kopi di kawasan lindung ataupun dalam kawasan produksi.

Di Perhutani belum pernah mencabut SK. 434/ Kpts/ Dir/ 1990 tanggal 14 April 1990 perihal : pedoman pengelolaan kopi hutan. Dimana dalam kebijaksanaan, khususnya point 1 yakni "tanaman kopi yang sudah ada dalam kawasan hutan perlu dibudidayakan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan, dengan dikelola secara intensif dan profesional" dan point 2 disebutkan bahwa "tidak diperkenankan adanya penambahan/ perluasan areal tanaman kopi dalam kawasan hutan". Sedangkan apa yang terjadi saat ini dalam rangka pengguliran PHBM, justru ekstensifikasi yang banyak terjadi dengan melakukan pengembangan kopi varietas "aceh tengah". Sehingga menurut hemat penulis dalam rangka mensukses unit bisnis strategik maka perlu menyempurnakan SK. 434 tahun 1990 tersebut dengan melakukan intesifikasi (meremajakan tanaman kopi yang sudah lansia) disamping pemeliharaan seperti di perkebunan dan pelaksanaan copies system serta ekstensifikasi pada kawasan hutan yang memungkinkan. Karena bagaimanapun untuk melakukan penanaman kopi yang baik perlu dilakukan adanya pengolahan tanah, utamanya dalam hal pengolahan tanah dalam lubang tanam, yang untuk kopi cukup besar, yakni 60x60x60 cm atau bahkan 75x75x75 cm, serta membutuhkan tempat pertumbuhan yang relatif datar. Saat ini banyak juga yang dikembangkan di hutan lindung dengan alasan klise untuk melegalkan okupasi ataupun lainnya. Sehingga perlu segera dilakukan tindak lanjut ataupun menyempurnakan dari SK. 400 jo 433/ Kpts/ Dir/ 2007.

Mengapa penulis tertarik mengangkat hal ini, karena kebetulan penulis sebagai pengampu materi pengembangan usaha lain di Pusdiklat SDM Perum Perhutani.

Guna menyiapkan kader lapangan yang tangguh maka segala ketentuan yang ada haruslah jelas, sehingga mereka tidak akan ragu dalam melangkah.


Hal lain yang menarik adalah mengenai pembuatan menara perlindungan hutan. Haruslah kita waspadai, karena sudah banyak berkembang "itu hanyalah upaya kamuflase dari Perum Perhutani", disamping adanya kejelasan perijinan dan SKK penandatanganan PKS yang terjadi.

Semoga hal ini dapat mengusik ataupun menyentil yang berada di bidang kepatutan hukum perusahaan. Karena Permen P.50/ Menhut-II/ 2006 sendiri sudah kurang berfungsi bebas semenjak adanya Permen P.43/ Menhut-II/ 2008. Padal acuan dari SK 400 dalam pengembangan usaha adalah P.50.

Marilah hal ini dapat segera dibenahi bersama, demi terciptanya tambahan penghasilan perusahaan.


1 komentar:

yulianto mengatakan...

Pernah suatu hari ketika saya diskusi dengan teman dikomentari :
"Ketika kita bicara tentang kopi hutan atau cengkeh hutan ..... itu seperti membicarakan ISTRI GELAP...! didatangi ketika butuh!! ha...ha.... apa iya??

Kelanjutan dari diskusi tersebut :
- apakah memang sekarang Perhutani butuh suatu pendapatan dari sesuatu yang pada awalnya kita sebut ILEGAL..
- kalau memang butuh, apakah disebabkan istri "TUA" sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan/tuntutan sang suami.... (apakah karena dari potensi SDH Kayu dan HHBK yang merupakan usaha pokok masih kurang?) Ingat lho kopi, cengkeh, padi, ikan, tidak termasuk golongan HHBK... tetapi masuk hasil usaha lain.. (HUL
- Selanjutnya saya diingatkan, ketika kita mentarget hasil kopi atau cengkeh atau ikan meningkat, maka pasti ada pohon yang berkurang (ditebang?), karena kopi, cengkeh, ikan, perlu ruang yang lebih besar. Paling tidak perlu ruang untuk mamasukkan sinar matahari yang lebih banyak.... Lha ini rak kaya buah simala kama!!
- Diskusi yang tak berkesimpulan tersebut akhirnya tehenti dengan kata-kata "HATI-HATI.... cermati aspek legalitas, teknis dan historis, sebelum kita MEMINTA JATAH ISTRI GELAP!! ha...ha...

Salam,
Bung Yoel.