Jumat, 26 Desember 2008

Tinjauan Pedoman Umum Pengembangan Usaha


Semenjak dikeluarkannya SK. 400/ Kpts/ Dir/ 2007 yang diundangkan pada tanggal 9 Mei 2007, menggantikan SK 991/ Kpts/ Dir/ 2006 sekaligus menggabungkan SK 982/ Kpts/ Dir/ 2006 dan SK 986/ Kpts/ Dir/ 2006, kita telah memiliki pedoman dalam mengembangkan usaha dengan payung hukumnya adalah Permenhut P. 50/ Memnut-II/ 2006, dimana SK 400/ Kpts/ Dir/ 2007 beberapa bagiannya dilakukan penyempurnaan pada SK 433/ Kpts/ Dir/ 2007 tanggal 23 Mei 2007.

Keluarnya Pedoman tersebut, menurut penulis terdapat beberapa hal yang harus lebih ditekankan, antara lain adalah bentuk kerjasama. Dalam SK sebelumnya ada 10 bentuk kerjasama, yakni :

PHBM (Plus)

Swakelola (KBM)

Kontrak Manajemen (KM)

Kerjasama Operasi (KSO)

Technical Assisstance Contract (TAC)

Leases Developed Operate (LDO)

Lisensi

Bangun Serah Guna/ Bangun Guna Serah (BTO, BOT dan derivatnya)

Anak Perusahaan

Perusahaan Patungan


Sebaiknya untuk pasal 4 huruf c ini dapat disamakan serta adanya ketegasan dalam pelaksanaannya. Sehingga pelaksana dilapangan akan lebih pasti, terutama pada saat kita sedang mengalami keslitan lukuiditas dan mengharapkan pengembangan yang signifikan dari sub sektor pariwisata. Karena menurut penulis bentuk kerjasama BTO/ BOT inilah yang paling pas.

Misalnya adanya pengembangan prasarana di kawasan hutan produksi, hal apakah yang tidak merubah bentuk bentang alam, dlsb.


Hal lain yang perlu diperhatikan adalah konsistensi dalam penulisan untuk pasal, ayat, huruf, butir, dan seterusnya.


Kemudian adanya tumbukan antara pasal 12 huruf c butir 4 dengan pasal 15 ayat 4 huruf a, mengenai batas kewenangan tingkat KPH, Unit, dan Pusat.


Berikutnya adalah tentang kejelasan batasan waktu kerjasama pada pasal 8 ayat 1 huruf huruf c, dalam hal penanaman. Selama daur perlu pembatasan untuk jenis FGS ataukah daur panjang yang ditanam di daerah buffer, seperti pemberdayaan JPT daerah penyangga.


Kemudian, pada dasarnya SK 400 ini menginduk dari Permen P.50, maka seyogyanya memang ada pemisahan dengan asset yang berada diluar kawasan hutan.


Kejelasan kerjasama pembangunan tower, harus hati-hati dengan fungsi hutannya. Berarti disana harus ada menara perlindungan hutan hutan yang merupakan asset dalam kawasan hutan untuk selanjutnya diberdayakan melalui kerjasama dengan PT. Angkasa Pura ataupun provider GSM.


Aturan pemanfaatan kawasan. Biasanya pemanfaatan kawasan yang ada dengan seijin menteri adalah tanpa kompensasi. Saat ini kita harus memberdayakan kawasan kita. Untuk kata-kata dalam perjanjian sebaiknya bukan sewa lahan karena kita tidak berwenang untuk menyewakan lahan, akan tetapi pemanfaatan hutan dengan kompensasi. Agar nilainya tinggi untuk perusahaan, jangan hanya dikaji berdasarkan NJOP akan tetapi nilai yang berlaku disekitarnya pada saat ini sebagai upaya pemanfaatan kawasan dengan kompensasi.


Perlu adanya pendahuluan dengan BAP antara SPH dan KPH, dengan memingkar lokasi yang akan dikerjasamakan terutama yang berada di hutan lindung. Kawasan yang dipingkar statusnya akan berubah dari hutan lindung menjadi TK atau Ldti terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan prosedur pemanfaatan kawasan, dalam pasal 9 (pemanfaatan hutan lindung).

Maksud penulis adalah demi keamanan kita semuanya, baik teman-teman di lapangan maupun di kantor.


Karena usaha ini harus kita lakukan sebagai masa bera, tidak ada kayu yang kita pungut ataupun yang dipanen berda dalam kisaran dibawah etat bagian hutan yang ada (sesuai dengan RPKH).


Pasal 4 sangat penting disosialisasikan karena sangat terkait dengan bentuk kerjasama yang akan dilakukan, terutama oleh teman-teman di KPH ataupun KBM.


Pemanfaatan hutan lindung untuk budidaya, seperti jamur apakah dalam srumbung ataukah seperti apa. Kemudian untuk tanaman hias dan tanaman obat bentuk pengolahan tanahnya seperti apa. Setahu penulis pengolahan tanah sesuai dengan panca usaha tani tentu akan tinggi, meski nantinya yang diambil adalah bukan pokok kayunya akan tetapi bunga dan umbi. Kalau dilakukan secara intensif, maka hal ini akan merangsang masyarakat untuk melakukan penjarahan di hutan lindung, sebagai salah satu alternatif kurangnya lahan garapan.


Baiklah dan mohon masukan dari teman-teman pakar hukum yang ada, antara lain yang saya kenal seperti mas Eko, Mas Tardi, dlsb. Bagaimana Kang Edu. Kok gak pernah ada khabarnya.


Salam,


Gandrie Simbardjo

Pemateri Pengembangan Usaha


Tidak ada komentar: